Kali ini saya ingin membagikan
sebuah BAB dari buku Fahd Djibran yang berjudul Curhat (Tuan) Setan ;
Yang Galau Yang Meracau. Buku spiritual yang dikemas ala anak muda dan
nyantai tetapi dengan bahasa yang rapi dan kadang-kadang penuh
romantisme dan kalimat-kalimat indah.
Di BAB Setan kita seperti di sindir,
di tohok dan di sadarkan bahwa selama ini kita memang kerap melupakan
sisi salah kita dan terlalu sibuk mencari dan memprotes orang lain. Fahd
Djibran dengan lihai membuat sebuah dialog imaginer dengan (tuan) Setan
tentang bermacam-macam hal dalam keseharian kita dan itu sangat membuat
saya sadar kemudian instrospeksi diri bahwa masih banyak hal yang perlu
di benahi, masih banyak hal yang bisa kita perbuat selain mengutuki
hal-hal di luar sana.
Good one. Obat galau, membuat orang jadi sadar akan 'setan' dalam dirinya masing-masing. (Resqi Utomo - Goodreads )
____________________________________________________
AL Qur'an yang Dibakar
“Gila!” rutukku sesaat setelah membaca berita pembakaran Al-Quran yang
dilakukan dua pendeta di Amerika, “Ini gila! Kita harus perang!
Terkutuklah mereka!” Umpatan-umpatan dan caci-maki-ku keluar tanpa
kontrol.
“Setan!” aku berteriak sekali lagi.
Tiba-tiba Tuan Setan muncul di hadapanku! Wajahnya penuh kemarahan. “Bakarlah Al-Quranmu!” kata Tuan Setan tiba-tiba.
“Setan!” aku berteriak sekali lagi.
Tiba-tiba Tuan Setan muncul di hadapanku! Wajahnya penuh kemarahan. “Bakarlah Al-Quranmu!” kata Tuan Setan tiba-tiba.
Jelas, aku berang mendengar ucapannya. Emosiku naik pitam. Dadaku
turun naik. Dan seketika kutuk dan serapah membrudal dari mulutku.
“Percuma selama ini aku mulai menaruh rasa simpati kepadamu! Kau
ternyata memang pantas dilaknat dan dimusuhi! Terkutuklah kau!”
“Bakarlah Al-Quranmu!” katanya sekali lagi, dengan nada yang lebih
tegas. Matanya nyalang. Gigi-giginya gemertak. Lalu telunjuknya mengarah
tepat ke wajahku. “Bakar!” ia berteriak, “Bakarlah kalau memang selama
ini ia hanya menjadi kertas, bakarlah! Bakarlah!”
Napasku turun naik, mataku memerah, tanganku mengepal. “Terkutuklah kau!” teriakku lantang.
“Mana Al-Quranmu!?” bentak Tuan Setan.
Tiba-tiba aku tersentak. Tiba-tiba aku merasa harus menemukan
Al-Quran milikku yang entah aku simpan di mana, sementara Tuan Setan
terus menerus berteriak “Bakar! Bakarlah Al-Quranmu!” Aku terus mencari.
Di manakah aku menyimpan Al-Quranku? Aku
membongkar isi lemari, mengeluarkan buku-buku, berkas-berkas, tumpukan
kliping koran, dan kertas-kertas apa saja dari dalam lemari. Di manakah Al-Quranku? Aku
mulai resah mencari di mana Al-Quranku. Aku ke ruang tamu, ke ruang
tengah, ke dapur, ke seluruh penjuru rumah. Aku memeriksa ke belakang
lemari, ke sela-sela tumpukan kaset dan CD-CD, ke mana-mana. Tetapi, aku
tak menemukan Al-Quranku! Di manakah aku menyimpan Al-Quranku?
“Bakarlah Al-Quranmu!” sementara Tuan Setan terus-menerus berteriak, “Bakar!”
Aku mulai panik dan resah, kemarahanku mulai pudar, ternyata aku tak bisa menemukan Al-Quranku sendiri.
Aku mulai panik dan resah, kemarahanku mulai pudar, ternyata aku tak bisa menemukan Al-Quranku sendiri.
“Bakarlah Al-Quranmu kalau itu hanya menjadi kertas usang yang kausia-siakan!” kata Tuan Setan tiba-tiba.
Dadaku berguncang hebat. Pelan-pelan tapi pasti aku mulai
menangis—tetapi aku belum menyerah untuk terus mencari Al-Quranku. Di
mana Al-Quranku? Ada sebuah buku tebal berwarna hijau di atas lemari tua
di kamar belakang, aku kira itulah Al-Quranku, setelah aku ambil
ternyata bukan: Life of Mao. Aku kecewa. Aku terus mencari sambil diam-diam air mataku mulai meluncur di tebing pipi.
“Bakarlah Al-Quranmu!” suara Tuan Setan kembali memenuhi ruang
kesadaranku. Tetapi kini aku tak bisa marah lagi, ada perasaan sedih dan
kecewa mengaduk-aduk dadaku. Ada sesak yang tertahan, semantara isak
tangis tak sanggup aku tahan.
Akhirnya aku menyerah. Aku tak menemukan Al-Quranku di mana-mana di setiap sudut rumahku!
Akhirnya aku menyerah. Aku tak menemukan Al-Quranku di mana-mana di setiap sudut rumahku!
Kemudian Tuan Setan tersenyum menang, ia menyeringai dan menatapku
dengan sinis. “Jadi, kenapa kau mesti marah saat ada orang yang membakar
dan menginjak-injak Al-Quran?” Kemudian ia tertawa, “Lucu! Ini lucu!
Mengapa kau mesti marah sedangkan kau sendiri tak mempedulikannya selama
ini?”
Aku terus menangis. Dadaku berguncang. Tuan Setan tertawa. “Jadi,
mengapa kau mesti mengutuk mereka yang menyia-nyiakan dan merendahkan
Al-Quran sementara kau sendiri melakukannya—diam-diam?” katanya sekali
lagi. Ada perih yang mengaliri dadaku, mendesir gamang ke seluruh
persendianku.
Tiba-tiba aku ingat sebuah tempat: gudang belakang rumah. Barangkali Al-Quranku ada di situ!
Aku bergegas bangkit dari tubuhku yang tersungkur, aku berlari
menuju gudang belakang, membuka pintunya, lalu menyaksikan tumpukan
barang-barang bekas yang usang dan berdebu. Sebuah kotak tersimpan di
sudut ruang gudang, aku segera ingat di situlah aku menaruh buku-buku
bekas yang sudah tua dan tak terbaca. Seketika aku hamburkan isi kotak
itu, membersihkannya dari debu, dan akhirnya… Aku mendapatkannya:
Al-Quranku!
Aku menatap Al-Quranku dengan tatap mata rasa bersalah. Aku
mengusap-usapnya, meniupnya, membersihkannya dari debu yang melekat di
mushaf tua itu. Kemudian aku mendekapnya erat-erat—mengingat masa
kecilku belajar mengeja huruf hijaiyyah, menghafal surat Al-Fatihah… “Astagfirullahaladzhim…” tiba-tiba dadaku bergemuruh, air mataku menderas.
Tuan Setan tertawa lepas. “Bakar saja Al-Quranmu!” katanya sekali
lagi, “Bukankah ia tak berguna lagi bagimu?” nada bicaranya mengejek.
Aku masih mendekap Al-Quranku, tergugu dengan dada seolah tersayat sembilu.
Aku masih mendekap Al-Quranku, tergugu dengan dada seolah tersayat sembilu.
“Jika pendeta yang membakar Al-Quran itu mengatakan bahwa Al-Quran
adalah buku yang penuh kebencian, bukankah mereka hanya menilainya dari
perilaku yang kalian tunjukkan? Bila mereka mengira Al-Quran hanyalah
kitab omong kosong dan Muhammad yang membawanya hanya nabi palsu yang
berbohong tentang firman, bukankah itu karena kau—kalian semua—tak
pernah sanggup menunjukkan keagungan dan keindahannya? Kau, kalian
semua, harus menjelaskannya!
“Jangankan menunjukkan keindahan dan keagungan Al-Quran, membacanya
pun kau tak! Jangankan menaklukkan musuh Tuhan sementara menaklukkan
dirimu sendiri pun kau tak sanggup! Apa sih
maumu? Al-Quran tak pernah mengajarkan permusuhan dan kebencian,
Al-Quran tak pernah mengajarkan hal-hal yang buruk, lalu kenapa kau
terus-menerus melakukannya? Al-Quran selalu mengajarimu kebaikan,
mengapa kau tak pernah mau mengikutinya? Heh, ya, aku baru ingat,
jangankan mengikuti petunjuknya, memahami dan membacanya pun kau tak!
“Lalu kenapa kau harus marah ketika Al-Quran dibakar? Mengapa kau
tak memarahi dirimu sendiri saat kau menyia-nyiakan Al-Quranmu? Ini
bukan semata-mata soal pendeta yang membakar Al-Quran, ini bukan
semata-mata soal pelecehan terhadap institusi agamamu, ini bukan
semata-mata soal permulaan dari sebuah peperangan antar-agama, ini semua
tentang kau yang selama ini menyia-nyiakan Al-Quran, tentang kau yang
secara laten dan sistematis menyiapkan api dan bensin dari perilaku
burukmu untuk menunggu Al-Quran dibakar lidah waktu yang meminjam tangan
orang-orang yang membenci agamamu! Mereka tak akan berani membakar
Al-Quran, kitab sucimu itu, kalau saja selama ini kau sanggup
menunjukkan nilai-nilai agung yang dibawa Nabimu, nilai-nilai kebaikan
yang termaktub dalam teks suci kitab yang difirmankan Tuhanmu! Maka bila
kau tak sanggup menggemakan Al-Quran amanat nabimu ke segala penjuru,
tak sanggup menerima cahayanya dengan hatimu, bakarlah Al-Quranmu! ”
Lalu seketika terbayang, Al-Quran yang teronggok sia-sia di rak-rak
buku tak terbaca, Al-Quran yang diletakkan di paling bawah tumpukkan
buku-buku dan majalah, Al-Quran yang kesepian tak tersentuh di masjid
dan langgar-langgar, Al-Quran yang tak terbaca dan (di)sia-sia(kan)!
Aku menangis; memanggil kembali hapalan yang entah hilang kemana,
mengeja kembali satu-satu alif-ba-ta yang semakin asing dari kosakata
hidupku. Aku melacaknya dalam ingatanku yang terlanjur dijejali
kebohongan, kebebalan, penipuan, dan pengkhiatan-pengkhiantan. Di manakah Al-Quran dalam diriku?
“Maka, bakarlah Al-Quran oleh tanganmu sendiri!” kata Tuan Setan,
“Hentikan airmata sinetronmu, hentikan amarah palsumu, hentikan aksi
solidaritas penuh kepentinganmu, hentikan rutuk-serapah politismu, sebab
kenyataannya kau tak pernah mencintai Al-Quran! Bakarlah!”
Tuan Setan tertawa lepas.
Tuan Setan tertawa lepas.
“Maafkan…,” suaraku tiba-tiba pecah menjelma tangis, “Maafkan…,”
lalu aku bergegas pergi dengan Al-Quran yang kugamit di lengan kananku.
“Bakar saja Al-Quranmu!” teriak Tuan Setan yang kutinggalkan di
gelap ruangan gudang. Lamat-lamat tawanya masih ku dengar di ujung
jalan.
Aku mencari masjid; Aku ke mal, ke pasar, ke terminal, ke sekolah,
ke mana-mana… Aku ingin mencari mushaf-mushaf Al-Quran yang
disia-siakan. Aku ingin membersihkannya dari debu dan mengajak sebanyak
mungkin orang membacanya. Aku masih bergegas dengan langkah yang galau.
Aku ingin mengabarkan keagungan dan keindahan Al-Quran, tapi bagaimana
caranya? Sedangkan aku sendiri tak memahaminya? Aku ingin
menggaungkannya di mana-mana, tapi bagaimana caranya?
Aku terus bertanya-tanya bagaimana agar Al-Quran tak dibakar? Bagaimana agar Al-Quran tak terbakar? Bagaimana?
Ya, Tuhan akukah insan yang bertanya-tanya?
Ataukah aku Mukmin yang sudah tahu jawabnya?
Kulihat tetes diriku dalam muntahan isi bumi
Aduhai, akan ke manakah kiranya aku bergulir
Di antara tumpukan maksiat yang kutimbun saat demi saat
Akankah kulihat sezarah saja kebaikan yang pernah kubuat?
Ya Tuhan, nafasku gemuruh, diburu firmanmu!
[KH. Mustafa Bisri, Tadarus]
Aku terus menangis dalam langkah-langkah gelisah yang bergegas, haruskah aku melawan semua ini dengan amarah dan kebencian? Ataukah aku harus menunjukkan kepada mereka semua yang membenci Al-Quran bahwa sungguh mereka telah keliru? Haruskah aku kembali marah dan membakar kitab suci mereka di mana-mana, atau akan lebih baikkah jika aku jawab mereka dengan cinta dan kasih sayang—meneladani Muhammad dengan menunjukkan kepada mereka kebaikan cahaya Al-Quran karena sesungguhnya mereka hanya belum tahu!?
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Bacalah!” tiba-tiba suara Tuan Setan datang lagi, “Biarkanlah mereka membakar mushaf sebab Al-Quran bukanlah kertas yang bisa mereka bakar. Bacalah Al-Quran hingga suaranya terdengar oleh hatimu, bergema di seluruh ruang kesadaranmu, maka kau tak akan kecewa mendapati mushaf-mushaf yang terbakar atau ayat-ayat yang teronggok di ruangan-ruangan tua berdebu buku. Sebab Al-Quran bukanlah mushaf, Al-Quran adalah semesta, nama di luar kata! Maha benar Allah dengan segala firman-Nya.”
Aku terdiam mendengar kata-kata Tuan Setan yang terakhir, “Tuan Setan, sebenarnya siapakah kamu? Apa agamamu?”
Ia terkekeh, bahunya berguncang, “Akulah yang kau lihat dalam tidurmu: berlarian atau terbang atau tertawa tanpa suara, sesuatu yang lama kau idamkan tetapi lupa kau sapa. Akulah yang telah sengaja membakar Al-Quranmu!”
Ia terus terkekeh, terbatuk, lalu menghilang.
________________________________________________________
Buat sahabat-sahabat yang ingin membaca tulisan-tulisan lain Fahd Djibran bisa langsung ke website pribadinya disini Fahdisme.com
Sumber : http://www.blogkaji.com/2012/12/curhat-tuan-setan-al-quran-yang-di-bakar.html
0 komentar:
Posting Komentar