“Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminannya adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun. “ (Soekarno)
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh globalisasi serta kran informasi yang terbuka lebar kian telah mereformasi kebutuhan akan hajat hidup manusia. Seperti di indonesia dan Negara-negara dunia ketiga lainnya. Hal ini ditandai beberapa akulturasi dan asimilasi yang sudah mewarnai komponen-komponen bangsa indonesia. Budaya lokal dan pilar kebangsaan sebagai jati diri bangsa sudah mulai mengkolaborasikan diri seiring datangnya globalisasi ke negeri ini. Temasuk sektor pertanian yang telah diperjuangkan oleh salah satu Founding Father’s kita, Bung Karno melalui gerakan MarhenismeNya, kini sudah hilang dalam jiwa para Petani akibat dermaan oleh Neoliberalisme sebagai jelmaan Kapitalisme.
Di era akselerasi akses informasi seperti saat ini, seakan telah melahirkan dunia baru bagi generasi bangsa ini. Bagaimana tidak, segala bidang ilmu dan informasi dengan mudah didapatkan tanpa filterasi. Baik dan buruk, bahkan sesat pun berbeda tipis untuk dibedakan .Termasuk berbagai macam aliran dan paham keagamaan pun telah berkeliaran dan mudah kita akses, dimana beberapa aliran itu kini kian tumbuh subur dan berdatangan dengan panji-panjinya di negri surga katanya. Asas Toleransi yang dibawa oleh demokrasi dan HAM ala negara Liberalis dan paham Neokomunis yang berwajah kapitalis telah meracik dengan lembaga hukum dan pranata sosial, ekonomi, politik dan budaya bangsa indonesia yang setiap hari kian melemah. Dimana hari ini HAM dan demokrasi tersebut menjadi alasan akan kebebasan yang sebebas-bebasnya untuk berekspresiasi dan berfikir, termasuk dalam beragama tanpa mengindahkan pilar-pilar kebangsaan (pancasila, NKRI, UUD ’45, dan Bhineka Tunggal Ika ) yang sakral dan Autentik sebagai jati diri bangsa indonesia.
Bahwa Lembaga Kemasyarakatan (Social Institutional ) dan komunitas keagamaan dan keislaman khususnya, beberapa telah disorientasi seiiring disorientasinya manusia indonesia pasca reformasi. Modal Sosial (Social Capital ) yang telah dibangun oleh leluhur dan Founding Father’s dari abad kerajaan hingga pasca penjajahan sampai hari ini telah luntur dan kusut akibat cucian dan gerusan globalisasi yang tidak tepat guna dan Disimplementasi. Kapitalisasi kebijakan dan kebijakan kapitalisasi dalam beberapa dekade terahir ini telah memperkeruh tatanan sosial, ekonomi dan karut marutnya nasionalisme pemuda sekaligus mengakibatkan candu dan traumanisasi bagi rakyat. Komunikasi dan implementasi politik sebagai syarat kesejahteraan rakyat tak relevan lagi dengan etika politik yang di contohkan oleh Rasulullah dan para sahabat-sahabatnya seperti sayidina Umar Ra. Dimana Bukanlah politisasi kebijakan dan kapitalisasi kebijakan yang kontraproduktif terhadap kesejahteraan rakyat seperti yang terjadi hari ini, melainkan kebijakan politik atau kebijakan ekonomi yang Pro rakyat.
Kompleksnya persoalan dan dinamika gejolak sosial yang melanda bangsa indonesia dalam beberapa bulan terahir cukup melelahkan dan menyisahkan berbagai pertanyaan dan ‘slentingan’ miring bagi media dan rakyak khususnya. Banyak kalangan yang mempertanyakan relevansi pancasila dan UUD ’45. Di tengah-tengah euphoria kampanye mendekati pemilu (pilpres, pileg pilgub dll) ini, rakyat justru muntah dengan janji-janji yang miskin kesejahteraan dan kamunflase tersebut. Konsekuensinya, runtuhnya kepercayaan terhadap pemimpin dan radikalisme kepercayaan antar komponen baik secara vertical dan horizontal menjadi bukti tenggelemnya Trust, Altruism, Reciprocity dan hancurnya Social Capital…Lantas dimanakah PANCASILA?
PANCASILA ; SEBUAH REFLEKSI SOSIAL
Tepat pada tanggal 1 juni 2013 kita akan menggelar penghelatan akbar yang sakral dan ideologis, yaitu peringatan “Hari Lahirnya Pancasila”. Sebuah peringatan yang special bagi anak bangsa indonesia. Dimana sejarah telah mencatat dan membuktikan betapa pancasila telah lahir dari rahim pemikiran dan jiwa juang para Founding Father’s yang kharismatik dan revolusioner.
Melahirkan ideology, Falsafah dan dasar Negara republik Indonesia tersebut tentu tidak mudah layaknya membalikkan telapak tangan. Di tengah-tengah hiruk pikuk situasi dan Porakporandanya kondisi nasioanal yang setiap saat selalu mengancam keselamatan diri dan bangsa indonesia, kiranya merupakan tantangan dan perjuangan berat bagi pejuang revolusi kala itu. Sementara kondisi dan situasi tersebut tak jarang merenggut nyawa dan persimbahan darah dan air mata.
Sebagai Negara dan Ideologi yang dilahirkan dari hasil jerih payah dan melewati sekian uji kelayakan dan dialektika panjang dibeberapa tokoh pejuang dan dengan pendekatan berbagai keragaman budaya dan agama yang mewarnainya. Sehingga bagi saya, indonesia dan pancasila sudah barang tentu satu racikan yang tak terpisahkan. Karena bagaimanapun Indonesia tanpa Pancasila bagaikan raga yang tak berjiwa, begitupun sebaliknya, Pancasila tanpa Indonesia bak arwah yang bergentayangan.
Sebenarnya ketika kita sadar Sebagai bagian dari komponen bangsa indonesia, tentu akan merasakan bahwa nilai-nilai pancasila itu masih tertanam dalam jiwa kita atau sebaliknya justru luntur. Kiranya hal ini dapat dilihat dalam berbagai diminsi kehidupan kita sehari-hari, apakah nilai itu masih menyertai dalam cara kita berfikir, senada dengan apa yang dikatakan dan masih indah dalam tindakan, Kemudian agama yang kita anut hingga hari ini sudahkah kita terjemahkan dalam kehidupan berbudaya dan toleransi berfikir dan bersikap dalam konstelasi ruang agama dan keyakinan yang berbeda. Renungan tersebut seharusnya ada dalam benak kita sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berbicara pancasila sebagai satu-satunya ideology yang seharusnya tak terpisahkan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, tentu akan menyisahkan determinasi dalam ayal sadar masyarakat indonesia hari ini. Bagaimana tidak, bangunan karakter bangsa ini sudah runtuh. Krisis Kepercayaan rakyat terhadap pemimpin bangsa( angka golput yg tinggi) dan ‘pemerkosaan’ kesejahteraan rakyat oleh pemimpin negri ini telah menjadi budaya ‘barbarisme’ ala Indonesia. Indonesia dan pancasila tak lagi ada dalam satu bangunan yang kokoh, dan seakan berjalan dengan sendiri-sendiri. Artinya, dalam konteks berbangsa dan bernegara tampak pancasila tak kunjung dihadirkan seiring perkembangan ‘mode’rnisasi. Wajah (nilai) pancasila sudah mulai mengerut dan tak tampak lagi dipermukaan, kian mulai bergeser dalam tatanan ekonomi, politik, budaya dan pranata sosial. Misalkan dalam sila yang pertama bahwa ketuhanan yang maha esa, berubah menjadi keuangan yang maha kuasa. Jelas bahwa ketika berbicara UUD talah diplintir menjadi Ujung-Ujungnya Duit (UUD), KUHP berubah arti menjadi “Karena Uang hilanglah Perkara (KUHP)”. Dan ini terjadi dalam partai label islam di indonesia, seharusnya poli’tikus’nya sebagai pemimpin mampu menerapkan sifat kenabian seperti sidiq, amanah dan tabligh, justru Fathonah harus berhadapan Dan berurusan dengan KPK. Semoga KPK pun tak berubah menjadi Komisi Perlindungan Kepentingan akibat terbius dengan mantra “Fulus”.
Kemudian dilanjutkan ke sila kedua yaitu (tak) kemanusiaan yang (tak) adil dan (tak) beradab. Bahwa sepanjang sejarah berdirinya NKRI hingga hari ini rakyat masih menjadi korban atas kerja paksa dan penindasan serta aniaya majikannya. Sepanjang tahun berpuluh-puluh kasus pelecehan dan penganiayaan pekerja terjadi pada tenaga kerja indonesia yang menjadi TKI atau TKW. Baru-baru ini datang dari TKI asal Kalbar sebanyak 22 orang yang dianiaya dan diperbudak oleh majikannya (Baca; kompas, senin 27 mei 2013. Hal 18). Kesemuanya terjadi tidak lain karena lemahnya nasionalisme konstitusi (misalkan, UU No 13 Th 2003 tentang Ketenagakerjaan) dan pemerintah negri ini yang tak lagi Pancasilais melainkan Panca’sial’is. Hal ini diperparah lagi oleh disinterpretasi pemangku kebijakan atas pasal 34 UUD ’45 atau mungkin Kebodohan menafsirkan undang-undang tersebut yang mengakibatkan pengangguran dan kemiskinan beranak pinak di negri pertiwi ini.
Selanjutnya masuk pada sila yang ketiga yaitu Pers(iteruan)atuan Indonesia. Banyaknya ormas (organisasi massa) yang masing-masing meletakkan batu nisan ideology dan fanatisme yang fantastis serta fundamentalis. Ngetrend nya ‘geng-geng’ motor dengan simbol komunitarian dan identik dengan kekerasan serta diperkeruh dengan tawuran antar pelajar yang melibatkan siswa dan mahasiswa kiranya lengkap sebagai cerminan kaburnya sila ketiga tersebut. Beberapa item pancasila tadi tentu ada interkoneksi dengan sila selanjutnya yang berbunyi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, walaupun realitanya telah berubah menjadi kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan Koruptor dalam Nepotisme. Hal ini terlihat dalam suatu partai politik yang mana Ketua Umumnya adalah Ayahnya, Sekretaris Jendralnya anaknya, Wa’ala Alihi Washohbihi Ajama’in dan seterusnya. Kira-kira begitulah jika saya menukil lolucon KH. Hasyim Muzadi (Mantan Ketua Umum PBNU) dalam acara sarasehan menyambut Harlah Pancasila yang di selenggarakan Universitas Jember 26 Mei 2013 yang lalu.
Walhasil, merupakan konsekuensi logis jika beberapa sila tadi di tutup dengan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia sebagai tujuan akhir dari sebuah negri, termasuk indonesia. Karena sila kelima ini adalah output dari proses panjang dan berkesinambungan. Artinya, jika boleh saya katakan bahwa sukses dan majunya bangsa ini tergantung bagaimana mengelola item-item sila sebelumnya dengan totalitas dan pengabdian yang berbasis Social and National Otiented. Namun yang kita saksikan hari ini tentu sangat jauh dari Ending pancasila tersebut seiring beberapa krisis dan rapuhnya keteladanan serta kompleksnya permasalahan yang melanda negri ini seperti yang saya sebut dan perinci sebelumnya.
RENUNGAN; KESADARAN SEJARAH dan BUDAYA
Beberapa paparan tentang benang kusut yang membelit negri ini disadari atau tidak, tengah mereduksi eksistensi pancasila. Turunannya adalah karut marutnya demokrasi dan kebijakan yang murahan. Sehingga dianggap perlu nanti pada hari tiba saatnya peringatan hari lahirnya pancasila semua elemen dan seluruh komponen bangsa ini menggelar pertaubatan nasional yang bertempat di persemayaman makam pahlawan. Wabil khusus para birokrat dan politi(kus)si seharusnya melaksanakan di makam para Founding Father’s yang telah menelurkan sekaligus menetapkan pancasila sebagai Falsafah, Ideologi dan Dasar Negara Indonesia.
Disamping itu, kesadaran sejarah perlu dibangun dan dimunculkan lagi kepermukaan, karena bagaimanapun sejarah dan pendidikan pancasila sebenarnya sejak duduk di bangku pendidikan dasar sampai ranah perguruan tinggi masih dipelajari. Namun karena tidak dihayati dan disadari saja, sehingga tak heran dalam perakteknya masih semu dan kosong. Sadar sejarah dan pancasila tidak hanya pada moment peringantan hari-hari kebangsaan nasional saja, tetapi senantiasa tetap ternatam dalam bungusan jiwa nasionalisme yang berkesinambungan. Sadar sejarah salah satu muatannya adalah sadar akan kebudayaan lokal sebagaimana Item Konsep Tri Sakti yang cuatkan oleh Bung Karno yang isinya adalah mandiri di bidang ekonomi, berdaulat di bidang politik dan berkepribadian di bidang kebudayaan.
Kemudian, Paulo Freire memberikan arahan kongkrit atas keterbelengguan kesadaran budaya melalui pedagogy pembebasannya yang membagi menjadi dua fase. Pertama, kesadaran kritis (kesungguhan), dimana dalam proses ini suatu kelompok (kelas) menjadi sadar terhadap penindasan yang mereka budayakan dari “mental terjajah” dan sehingga menemukan bahwa mereka memliki kebudayaan yang populer identitas politik, dan peran sosial. Artinya, bagaiman bangsa indonesia hari ini dengan pilar dan jati diri budaya yang tengah mengalami distorsi ini mampu menunjukkan kekuatan natural dan supranatul yang terpancar dari ideologi pancasila. Kedua, kesadaran praksis kritis. Sebagaimana praksis, namun bukanlah kekuasaan yang revolusioner yang dirampas dari para penindas budaya, lebih dari itu adalah intervensi yang damai untuk mengembangkan alternatif, yang melibatkan para penindas kebudayaan dengan mentransformasikan hubungan kekuasaan yang adil dengan jalan dialog. Sehingga akan timbul kesadaran bersama dan melembaganya pancasila dalam diri bangsa terjajah ataupun penjajah sebagai pesta kesadaran bersama yang nantinya akan membawa pada kemerdekaan budaya yang sakral ketimuran.
FUNGSI LEMBAGA KEAGAMAAN
Tentu bukan lembaga keagamaan yang di biayai oleh kapitalis (sebagai sponsornya) yang dalam doktrinasinya mengarah pada Fatalisme dan pelemahan terhadap jiwa nasionalisme, melainkan lembaga kagamaan sebagai sumber penanaman nilai-nilai pancasila dan terbukanya kesadaran beribadah dalam konteks sosial, ekonomi dan politik dengan mengejawantahkan hukum-hukum kegamaan sebagai entitas kekuatan hukum Negara. Sehingga bangsa ini akan kembali pada Fitrahnya sebagai bangsa yang kuat dengan NKRI nya dan sakral dengan ideology pancasila (demokrasi ala Indonesia) nya. Walhasil persemakmuran dalam Bhineka Tunggal Ika insya Allah akan segera terwujud.
Amin Ya Rabbal A’lamin,, bersambung pasca peringatan harlah pancasila…
PANCASILA & NKRI ADALAH HARGA MATI!!!
“Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, maka tidak dapat berdiri sendiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.”
(Pidato Bung Karno, HUT Proklamasi 1963)
0 komentar:
Posting Komentar