PUDARNYA NUANSA GERAKAN ASWAJA DALAM PMII



(Sebuah Analisis ‘Wacana dan Militansi Kader’ dalam Berideologi)

Oleh : Putra Kangean (PK. PMII UNEJ)

Ketika melihat beberapa bacaan tentang aswaja yang di tulis oleh kader-kader PMII, tampak bahwa posisi aswaja tak lain sebagai landasan berfikir atau yang kerap kita kenal sebagai minhaj al-fikr. Bahkan dalam beberapa materi yang dikurikulumkan dalam masa Penerimaan Anggota Baru (mapaba) sampai pada tataran pelatihan kader dasar (PKD) pun tak jarang kita jumpai doktrinasi-doktrinasi yang serupa. Kendati pun tak ayal jika aswaja hanya selesai dijadikan obrolan dan bahan diskusi semata yang berujung pada kebenaran subjektif dan akhirnya kosong dalam aplikasi. Nah, Seharusnya Aswaja mampu mengilhami pemikiran dalam gerakan Akidah para pengikutnya, Wabilkhusus para kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang secara eksplisit dan legal formal telah menjadikan aswaja sebagai Dasar & ideologi dalam hidup berorganisasi.

Jika dalam bernegara kita menganut ideology pancasila, dalam ber PMII pun kita seyogyanya mampu menganut aswaja yang pancasilais. Karena bagaimanapun Aswaja dan Pancasila adalah dua sisi mata uang yang secara esensial sama dan Maujud fi Kulli Haalin. Itulah sebabnya kenapa PMII harus relevan dalam konteks berbangsa dan bernegara disetiap dimensi ruang dan waktu. Artinya, PMII harus selalu menjadi moncong mercusuar biru dan ruang geraknya mampu mensorot setiap sudut-sudut negri ini. Dimana ada ketidak adilan dan ketertindasan disitulah PMII ada. Sehingga inilah gerakan sosial aswaja yang seharusnya mulai dimunculkan kepermukaan dan dihadirkan dalam ruang serta ghirah gerakan PMII. Bukan teologi pembebasan Karl Marx, dan pemikiran serta dalail-dalil Hegel, Thomas Kuhn, Foucoult, Derrida, Giddens, Waashabihi watabi’ahum yang seakan sebagai nabi baru yang membawa angin segar bagi perubahan jati diri kader.

Kita tahu bahwa tak ubahnya idealisme aktivis mahasiswa yang turun temurun itu nota bene mencomut pemikiran dan perjuangan kelas yang dibawa oleh para pemikir-pemikir yang saya sebutkan tadi, sementara secara kontekstual di arena telah kita saksikan bagaimana karut marutnya moral pemuda dan tereduksinya idealisme mahasiswa oleh kolaborasi Kapitalis-Komunis yang hegemunik. Terbukti di tengah-tengah kerumunan gedung kampus-kampus yang apik-mentereng dan cagak tiangnya bak menara gading pencakar langit, tak satupun berdiri toko-toko buku sebagai indikator lingkungan yang ilmiah. Justru sebaliknya adalah sederetan toko-toko baju yang beraneka model dan jejeran cafĂ©-casfe yang menawarkan sekian euphoria hiburan malam serta pernak-pernik musik dugem yang kemudian dibumbui oleh SPG-SPG seksi nan jelita sebagai symbol kemewahan yang mewarnainya. Ini PR bagi kita sebagai warga PMII.. jangan-jangan kita ada pada barisan atau lingkaran itu. Lak lucu rek…

SUATU ILUSTRASI dan REFLEKSI

Malam itu, dari arah timur dan barat silau sorotan lampu sepeda motor-mobil yang berlalu lalang. Di lesehan yang beralaskan karpet Ditemani secangkir kopi dan sebatang rokok. Wajah kusut dan galau akan nuansa idealisme tengah menyapa malam itu. Sementara di pojok samping sana tampak dua sejoli yang tengah dilanda asmara. Berawal dari obrolan ringan seputar ‘pemuda’ bersama salah satu teman saya, Sebut saja dia namanya Nur. Ditengah perbincangan itu lantas terbersit suatu adagium temen saya itu, yang mengatakan seperti ini, “ngomong-ngomong terkait pemuda, kenapa sih sekarang banyak mahasiswa yang secara intelektual bahkan pengetahuan filsafat sudah ngelontok alias puinnnter…, namun jika suruh ngomong agama islam (aswaja), sholat misalkan, ko’ awam bin asing.. apalagi melaksanakannya!!” (dengan nada ngece). Dalam hati kecil saya sungguh terenyuh dengan perkataan temen saya tadi, kemudian saya menjawabnya “ya sudahlah.. ini mungkin akhir dari fase jaman yang sudah ditakdirkan demikian, budaya omong-omong alias omdo sudah menjadi budaya di indonesia apalagi wakil rakyat yang ada di balik gedung mewah sana.” teman saya menambahkan “kayaknya kita hari ini sudah menjadi kaum munafiqin semua donk, alias tidak aswajais” ujarnya. “Benar itu.., kita sudah kehilangan arah kiblat” lanjut saya. Di PMII sendiri gimana? Tanya nur. Kala itu saya terdiam seribu bahasa. Pasalnya, ketika saya menjawab yang sejujurnya maka konsekuensinya akan mencoreng nama lembaga pada umumnya dan saya khususnya sebagai kader PMII, sebaliknya jika saya apik kan PMII maka sudah barang tentu saya menambah kemunafikan dalam hati dan lembaga. Jawaban satu-satunya kala itu adalah memilih untuk diam dan mengatakan “tidak tau.. mungkin ya, mungkin juga tidak” terang saya sambil tersenyum. Lanjut dan singkat cerita, siapa sangka ternyata jam telah menunjukkan pukul 24.00 Wib, kurang lebih 3 jam kami melewati diskusi alias omong-omong banyak hal malam itu. Namun kiranya hal tersebut dapat saya jadikan sebagai renungan malam detik itu, dan mungkin sahabat-sahabat PMII juga masuk di dalamnya.

Hal yang mendasar adalah bahwa acap kali kita tidak menyadari dan tenggelam dalam kenyamanan yang semu. Alih-alih untuk mengamalkan (‘ejawantah’), terkadang sebatas melihat dan membaca isi rumah biru sendiri yang salah satu isinya adalah aswaja, masih acuh dan enggan. Kitab-kitab salafi dan materi aswaja seakan bukan hal yang seksi nan semok lagi, sehingga wajar tak diminati oleh para kader-kader untuk dikaji apalagi disetubuhi dalam hati. Ironisnya, jika ada seorang kader ketika ditanya motifnya masuk PMII hanya sebatas menjawab sekedar iseng, terpaksa dan supaya mendapat jabatan di intra kampus, atau lebih parah lagi agar dekat dengan salah satu sahabat/I PMII, saya kira hal itu tak lain menjadikan PMII sebatas media pencarian pasangan atau biro jodoh. Walhasil, Tak ayal ketika sudah menjadi anggota pergerakan, penggaweane pacaran saja. Dan tak sedikit hanya perkara sepele itu yang kadang berakhir dengan sad ending, ikut mempengaruhi keaktifannya dalam proses berorganisasi. Sungguh mental tempe dan tak bertanggung jawab atas ikrar yang telah diucapkan di awal menjadi Anggota Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia.

Sederetan persoalan diatas hanya sekelumit dari sekian banyak hingar bingar kebobrokan yang ada pada sebagian besar kader-kader kita hari ini. Redahnya kesadaran budaya literasi dan runtuhnya diaspora wacana dan bangunan pemahaman aswaja kader sebagai dasar berfikir dan bergerak ikut mencabuli otak dan nuraninya yang kemudian berimplikasi pada merosotnya jiwa militansi kader itu sendiri. Dimana hal ini tidak menutup apakah dia sebagai anggota, kader ataupun pengurus, semuanya sawaun kanat alias podho ae. Lihat saja di beberapa rayon sudah sepi dengan nuansa kultur keislamannya, yasin dan tahlilan kian hari semakin mangalami kemajuan, misalkan minggu pertama masih 4 baris, minggu kedua maju tinggal 2 baris, kemudian minggu selanjutnya sudah tinggal 1 baris dan seterusnya sampai tidak sama sekali. Kajian-kajian entitas kecil dari aswaja yang tak lagi bergairah bahkan hampir almarhum turut menempati deretan masalah yang nomor sekian, misalkan kajian fiqih dan Akhlaq yang isinya menyangkut kegiatan ritual beserta etika dalam kehidupan sehari-hari. Sementara ketika dihubungkan, bahwa Nilai Dasar Pergerakan (NDP) itu sebenarnya merupakan muatan dari aswaja sendiri, sehingga dalam penerapannya pun harus disertai dengan Pengetahuan ilmu fiqih dan akhlaq yang baik, dengan tidak mengesampingkan entitas-entitas aswaja yang lainnya, tasawuf misalkan, Karena bagaimanapun tasawuf adalah makanan pokok bagi jiwa kader dalam menjaga dirinya supaya menjadi kader yang senantiasa dalam hidup ini tidak sekedar berorientasi pada jabatan dan profit.

Beberapa kepelikan tadi kiranya menjadi renungan bagi kita semua, sebagai kritik dan autokritik dalam ber-PMII serta menjadi bagian dari PMII. Evaluasi diri dan membersihkan rumah sendiri dari virus dan bakteri iri, dengki dan membicarakan aib atau kejelekan sahabat sendiri sudah seharusnya mulai kita basmi dan rem. Bahwa jika boleh saya katakan, hari ini kita layaknya pasien dan muslim PMII yang ada pada level kemurtadan stadium lima terhadap organisasi, maka sesegera mungkin bertaubat dan kembali menguatkan aqidah aswaja dalam benak kita masing-masing dengan cara menggelar yasin & tahlil secara rutin setiap malam jum’at. Sebab, bagaimanapun akar permasalahannya terletak pada ngelupasnya idealisme serta lunturnya gerakan aswaja dalam relung ayal sadar kita sebagai kader. Sempat terlintas dalam benak saya seperti ini, kira-kira hal tersebut terjadi Entah apakah karena dalam pembaiatan diawal menjadi anggota yang kurang singguh-sungguh mengucapkan ikrar ataukah yang membai’at terlalu banyak dosa, jawabannya bisa saja tidak atau justu ia pake banget. Jika memang ia, tampaknya sekelas pengurus cabang, PKC dan PB perlu mendatangkan para kyai atau agamawan sekelas gus dur di setiap pembai’atan Mapaba, PKD dan PKL atau bahkan dalam pelantikan Pengurus PMII sehingga terlihat sakral dan ikut serta dido’akan oleh beliau Nya dengan harapan meminimalisir kemurtadan dalam organisasi dan ideologi.

Namun jika usaha-usaha tersebut masih saja tidak membuahkan hasil, maka perlu kiranya melakukan langkah-langkah berikut ini. Pertama, Tanamkan dan Perbaharui Niat. Kita tahu bahwa niat menempati posisi yang sangat sentral dan paling utama, sehingga tak heran jika kesuksesan dan kebermanfaatan itu berawal dari niat yang baik dan sungguh-sungguh (“Man Jadda Wajada”). Hal ini relevan kemudiian dengan hadist rasulullah yang berbunyi, ”Wahai segenap manusia, bahwasanya semua amal itu dengan niat dan bahwasanya bagi seseorang itu apa yang ia niatkan. Oleh sebab itu barang siapa hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan kepada Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya adalah kepada dunia yang ia ingin memperolehnya, atau kepada seseorang perempuan yang ia ingin mengawininya, maka hijrahnya kepada apa yang ia hijrahkan kepadanya.”(hadits riwayat Al-Bukhary, Muslim dan lain-lainnya dari sahabat Umar bin Al-Khaththaab r.a)

Hadist di atas telah menilik sinyal positif dan motivasi kepada kita semua sebagai warga pergerakan untuk kembali meratapi dan membenahi sekaligus memperbaharui niat dan ghiroh yang awalnya karut marut bahkan disorientasi dalam menimba ilmu dan meraup pengalaman baik di bangku kuliah, lebih-lebih di dalam ber-PMII dan menjadi PMII. Kiranya hal ini juga sekali lagi sebagai evaluasi yang tak harus terulang atau terjadi pada generasi selanjutnya, Karena menurut Imam Al-Ghozali, sungguh celaka dan merugi bagi suatu golongan jika generasi selanjutnya lebih jelek atau sama dengan apa yang dirasakan dan dilakukan oleh generasi hari ini. Namun sebalikya kita berharap menjadi golongan yang beruntung, dimana generasi esok lebih baik dari hari ini. Amin. Selanjutnya..

Kedua, Pribumisasi dan Penguatan Aqidah Ahlusunnah Waljama’ah (Aswaja) Kader. Bahwa keyakinan saya sebagai kader PMII, sungguh aswaja adalah islam yang ideal jika dibandingkan dengan firqoh-firqoh yang tengah berkembang di negri ini, seperti syiah, mu’tazilah, wahabi dkk. Yang tak lain kesemuanya adalah ahli neraka menurut Rasulullah SAW. Namun, kita tak perlu terlibat ikut dalam vonis menvonis soal aqidah karena bagaimanapun dalam kehidupan sehari-hari kita tak jarang menampakkan perilaku yang menyimpang yang mengarah kejalan neraka itu. Wah, serem yach.!! Akan tetapi yang terpenting bagi kita Sebagai kader PMII yang Insya Allah Aswajais, dengan semaksimal mungkin memahami setiap detail prinsip-prinsip aswaja yang meliputi ; tasamuh (toleransi), tawasuth (tengah-tengah ; tidak ekstrim kiri & kanan), tawazun (seimbang) dan I’tidal (tegak lurus) dengan sebaik-baiknya dan mengindahkan dalam ejawantah yang sebenarnya dalam tatanan sosial, ekonomi, politik, berbudaya, berbangsa dan bernegara. Tak ketinggalan juga komponen-komponen di dalamnya yaitu Aqidah, Syariah, dan Akhlaq yang seharusnya kita sebagai muslim PMII yang aswajais katanya, kiranya dapat memahami dengan benar dan menjalankan secara ta’at dan ikhlas sebagai indikator islam- muslim yang insya allah ‘ulul albab’ dan ‘kaffah’. Amin….. Salam pergerakan!!

“Tentu Kita tidak menginginkan seperti sebagian para politisi yang sering berganti baju parpol dan korup bin rakus akibat runtuhnya ideologi yang ada dalam parpol dan karatnya Ideologi itu di dalam Qalbu para Kader tersebut, begitupun dengan PMII….!!! Ingatlah, Dzikir, fikir & amal sholeh bukan hanya sekedar symbol PMII tetapi lebih dari itu adalah sapaan serta panggilan untuk jiwa yang suci dan perjuangan melawan segala bentuk kemunafikan dan ketertindasan” (‘Ach Samsul Rizal’)