Khittah PMII: Operasionalisasi Aswaja dan PKT dalam Kaderisasi

Oleh : Phochetz Generasi Biru

    Dalam sudut pandang keorganisasian, PMII tentunya tidak berbeda dengan organisasi-organisasi lainnya. Dimana dalam menjalankan roda organisasi dan untuk mencapai tujuan organisasi dibutuhkan adanya ideologi dan paradigma yang dipakai dalam menentukan arah gerak serta sikap keorganisasiannya. Ideologi nantinya akan menjelma sebagai pola, karakter dan laku individu-individu organisasi yang dengan sendirinya akan membentuk brandmark atau identitas diri bagi organisasi. Setidaknya sebagai variabel pembeda antara organisasi yang satu dengan yang lainnya. Sedangkan paradigma akan mewujud sebagai arah gerak atau sikap yang akan menentukan posisi yang diambil oleh organisasi ataupun anggota organisasi dalam melihat gejala-gejala atau realitas sosial yang terjadi di lingkungannya. Sehingga ada dinamika pemikiran yang selalu terjadi dan tak pernah jumud pada satu kemapanan (stabil) yang pada akhirnya justru malah akan menciptakan kemandulan dalam bergerak maupun berkarya.
    Dalam hal ini PMII memilih Ahlussunnah Wal Jamaah (ASWAJA) dan Paradigma Kritis Transformatif (PKT) sebagai basis ideologi dan paradigma yang dipakai dalam membaca, mencerna dan meng-create realitas sosial yang ada. Aswaja sebagai ideologi tentunya bukanlah sebatas pajangan atau penggenap bagi PMII untuk dikatakan sebagai sebuah organisasi, melainkan sebagai acuan bagi anggota atau kader untuk mencitrakan dirinya sebagai pribadi yang otonom tanpa melepaskan relasinya dengan yang transenden. Pribadi otonom yang dimaksudkan disini adalah pribadi yang tidak tercerabut dari akar (hakikat) kemanusiaannya yang dikaruniai akal untuk berpikir agar tidak terseret oleh mainstream yang ada. Begitulah kerangka pikir yang diinginkan Aswaja sebagai basis ideologi keorganisasian kita. Berangkat dari sejarah lahirnya, Aswaja hadir sebagai aliran atau kerangka pikir (manhaj al fikr) penengah antara kaum fatalis dengan kaum rasionalis. Makanya kemudian harapan yang disematkan oleh PMII sebagai organisasi Aswajais adalah terciptanya anggota yang tidak gampang puas (stagnan) terhadap kemapanan yang tercipta, terbentuknya pribadi yang tidak terjebak pada diorama tekstualitas islam masa lampau. Karena itu, kita sebagai anggota organisasi dituntut untuk berani berfikir, menggugat, dan menggagas sebuah format (pemikiran) baru dalam hal beragama, bermasyarakat, dan berbangsa. Sehingga keberadaan PMII itu sendiri menjadi Rahmatan lil alamin bagi  negara-bangsa bernama Indonesia ini.
    Sedangkan dipilihnya Paradigma Kritis Transformatis (PKT) sebagai paradigma organisasi tidak lepas dari perkembangan peradaban yang ada. PKT diharapkan mampu menjadi penopang kader dalam melakukan transformasi-tranformasi sosial. Dalam konteks hubungannya dengan Allah sebagai khalifah dimuka bumi, kader PMII dituntut untuk selalu melakukan penafsiran-penafsiran realitas sosial yang kemudian direkayasa untuk terciptanya tatanan yang lebih baik. Dengan kata lain, kader PMII haruslah memiliki kesadaran kritis (critical consiousness) dalam memaknai setiap arus perubahan yang terjadi dan kemudian diterjemahkan menjadi arah gerak (program kerja) organisasi dalam menjalankan mandat sosialnya sebagai lembaga penjaga tradisi dan peramu modernitas.
    Aswaja dan PKT secara simultan akan membentuk citra diri kader PMII yang sederhana dalam berpikir tetapi  luar biasa dalam bertindak. Tentunya citra diri seperti itu takkan terjadi dengan sendirinya, dibutuhkan adanya kesungguhan dari para kader untuk memahami dan mengiternalisasikan ideologi dan paradigma itu ke dalam diri masing-masing kader yang nantinya akan terlihat dalam pola komunikasi, gerak, dan tingkah laku para kader. Penafsiran-penafsiran diharapkan akan selalu dilakukan untuk menggali lebih dalam lagi makna dibalik dipilihnya Aswaja dan PKT sebagai landasan filosofis PMII. Sehingga cita-cita citra diri kader ulul albab bukanlah sebuah hal yang utopis.
Operasionalisasi Aswaja dan PKT
    Seiring dengan proses pencarian dan pemahaman (internalisasi) kita atas Aswaja dan PKT sudah semestinya juga kita menggunakan Aswaja dan PKT sebagai landasan utama dalam bekerja melakukan proses-proses kaderisasi. Karena sesungguhnya Aswaja dan PKT sangatlah operasional. Artinya dengan mengimplementasikan kedua hal itu dalam melakukan kaderisasi sudah cukup luar biasa dan dengan sendirinya arah kaderisasi kita terskema dengan rapi. Aswaja dengan prinsip tasamuh, tawasuth, tawazun, i’tidal dan amar ma’ruf nahi munkar sebenarnya merupakan pola gerak atau komunikasi yang semestinya mampu dipakai oleh setiap kader dalam ruang-ruang publik dimana kader itu mengabdi atau beraktivitas. Apabila dalam proses pengkaderan, setiap kader atau pengurus menggunakan lima prinsip itu, insya Allah PMII akan sangat hidup dan mewujud sebagai sebuah organisasi yang multitalent dan cukup berwarna secara karakter. Sedangkan PKT dengan sendirinya akan  menjaga tradisi kritisisme didalam tubuh kader. Sehingga dalam melakukan kerja-kerja kaderisasi pengurus akan selalu tanggap atas perubahan dan realitas yang terjadi. Akhirnya sistem kaderisasinya pun tidak stagnan pada satu sistem kaku yang justru lahirnya dari kondisi sosial yang berbeda pada saat itu. Sistem kaderisasi yang dibuat akan luwes dan relevan dengan setiap kondisi yang ada. Mengingat karakter kader yang juga semakin beragam dan me-manja akibat dari terseretnya mereka atas mainstream populer  yang lagi menggema saat ini. Disinilah letak dari keampuhan Aswaja dan PKT sebagai manhaj al fikr dalam ber-PMII. Jika pengurus dari setiap lembaga PMII yang ada sudah mampu menerjemahkan hal ini, maka lahirlah apa yang disebut oleh McGregor Burns sebagai transforming leadership intellectual, yaitu intelektual yang berani membentuk lingkungan dengan imajinasi teratur, memadukan antara teori plus gagasan normatif dengan kerja kreatif dilapangan. Pertanyaannya, adakah semangat transforming leadership itu masih kita miliki sekarang?. Layak kita diskusikan dalam momentum-momentum pra RTAR.

0 komentar:

Posting Komentar