Oleh : Akhmad Sugiyono
Dua hari lalu di rumah biru kedatangan beberapa aktivis dari organ
kemahasiswaan lain, di sela-sela diskusi terkait kaderisasi dan gerakan
sempat ada isu menarik terkait dengan lokalitas kota jember yang
terlontar dari sahabat-sahabat aktivis kita tersebut yaitu adanya
rencana darp pemerintah jember yang akan mengkonversi lahan pertanian
menjadi industri di kota jember ini. Sepeti yang di ungkapkan oleh
bupati MZA Djalal sendiri selaku bupati Jember bahwa akan mengubah
rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Jember, Jawa Timur,
habis-habisan menjadi daerah industri. Daerah industri lebih menjanjikan
kesejahteraan. MZA Djalal merasa, selama ini daerah agraris seperti
Jember diperlakukan tak adil oleh pemerintah pusat. Dalam kerangka RTRW
nasional dan provinsi, Jember adalah daerah agraria dan lumbung padi
nasional. Namun selama menjadi daerah agraria, ekonomi Jember tidak bisa
tumbuh cepat dan kalah dibandingkan daerah lain yang menjadi basis
industri dan jasa (Berita jatim, 13 Oktober 2012).
Disisi lain
permasalahan ketahanan pangan di negeri ini semakin kronis, dan
permasalahan tersebut selalu berputar pada permasalahan permasalahan
seperti ketergantungan impor pangan, penurunan jumlah petani,
berkurangnya lahan, anomali cuaca, minimnya penggunaan teknologi di
bidang pertanian, dan menurunnya investasi di bidang pertanian dan
perikanan. Baru-baru ini masalah yang paling santer muncul adalah
turunnya produksi kedelai di negeri ini yang menyebabkan pemerintah
mengimpor kedelai dari negera-negara seperti Brazil, Amerika Serikat dan
negara-negara lainnya, sejalan dengan itu serangan anomali cuaca juga
memperburuk keadaan yang menyebabkan negara pemasok kedelai tersebut
menaikan harga jual kedelai, sehingga harga jual kedelai dalam negeri
juga naik. Ditambah lagi dengan permainan para tengkulak yang
menyebabkan petani kedelai dalam negeri semakin merugi dan mengalami
penurunan jumlah petani kedelai. Kasus-kasus sebelumnya pun hampir sama
dengan produk yang berbeda, seperti garam, beras, dan bahan-bahan pangan
lainnya. Menjadi bahan kajian bersama ketika negeri ini dianggap
“gagal” mempertahankan ketahanan pangan nasionalnya, padahal negeri yang
mempunyai julukan gemah ripah loh jinawe dengan kekayaan potensi
alamnya yang melimpah, dan sudah seharusnya negeri ini menjadi negeri
swasembada pangan malah bisa menjadi negeri ekportir pangan dunia.
Ironisnya semua itu hanya menjadi kontradiksi belaka negeri ini lemah
dalam ketahanan pangan.
Mengurai permasalahan ketahanan pangan
diatas , ketika kita tarik mata rantainya selain faktor anomali cuaca,
ketergantungan impor pangan, minimnya investasi, rendahnya penggunaan
teknologi di bidang pertanian. Faktor yang juga besar ikut andil
menjadi penyebab krisis ketahanan pangan adalah berkurangnya lahan
pertanian di negeri ini, konversi lahan pertanian ke nonpertanian di
Indonesia akan semakin meningkat dengan rata-rata 30.000-50.000 ha per
tahun, yang diperkirakan jumlah petani gurem telah mencapai sekitar 12
juta orang (Badan Pusat Statistik,2003) di saat bersamaan semakin
bertambahnya jumlah penduduk juga semakin mempersempit lahan pertanian
yang ada, efek yang terjadi adalah menurunnya produksi pangan dalam
negeri. Disinilah tantangan akan ketahanan pangan terjadi.
Berangkat dari permasalahan itulah, muncul pertanyaan ketika bupati
Jember MZA djalal mewacanakan akan mengkonversi lahan pertanian menjadi
industri dengan mengubah RT/RW Jember secara revolusioner dengan alibi
mensejahterakan rakyat. “Apakah menjadi keputusan tepat bahwasannya
Jember yang merupakan daerah agraris harus diubah menjadi daerah
industri?” maka yang terjadi Jember merupakan salah satu kota yang turut
serta menjadi penyumbang faktor gagalnya ketahanan pangan di negeri
ini, negeri yang subur dan makmur (seharusnya). Warisan apa yang akan
diberikan kepada anak cucu kita jika hal tersebut terjadi? Layak untuk
dikaji kembali wacana konversi lahan pertanian tersebut, sebelum kita
salah melangkah. Selamatkan ketahan pangan kotaku, kota jember
terbina...
0 komentar:
Posting Komentar