Inovasi, keunggulan bersaing, konsumen dan Industri Gula

Embang Juventini 
Oleh : Herlambang
Facebook : embang21@rocketmail.com

Persaingan dalam dunia industri merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Dengan adanya persaingan, maka perusahaan – perusahaan dihadapkan pada berbagai peluang dan ancaman baik yang berasal dari luar maupun dari dalam negeri. Kepuasan konsumen merupakan hal penting bagi perusahaan dalam menghadapi persaingan yang ketat saat ini. Karena kepuasan pada konsumen akan membuat konsumen menjadikan produk yang diproduksi oleh perusahaan sebagai pertimbangan utama dalam melakukan pembelian, sehingga dengan demikian maka dengan adanya kepuasan pada konsumen maka akan mengakibatkan pembelian kembali. Dengan terbangunya kepuasan konsumen juga akan membantu perusahaan dalam memasarkan produknya, karena pada konsumen yang puas akan menjadikan konsumen tanpa ragu membicarakan hal yang positif kepada orang lain tentang produk dari perusahaan. Maka kepuasan konsumen menjadi hal yang penting dalam persaingan yang terjadi saat ini.

Kotler (2002; 154) mengatakan bahwa kepuasan konsumen merupakan tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan antara kinerja produk yang ia rasakan dengan harapannya. Dalam membentuk kepuasan pada konsumen perusahaan harus dapar memenuhi keinginan dan kebutuhan konsumen. Sedangkan kebutuhan dan keinginan dari konsumen sendiri selalu berubah mengikuti perkembangan yang ada. Diperlukan inovasi agar perusahaan dapat mempertahankan kepuasan pada konsumen. Menurut Arief (2007:165), Inovasi produk sangat erat kaitannya dengan kepuasan pelanggan. Jika harapan konsumen terhadap inovasi produk yang dihasilkan perusahaan akan mendapatkan nilai tinggi dari kepuasan pelanggan konsumen (costumer satisfaction) dan selanjutnya akan menciptakan konsumen (costumer delight). Sebaliknya apabila, kepuasan konsumen tidak terpenuhi, maka yang timbul adalah ketidakpuasan konsumen. Semakin rendah tingkat kepuasan konsumen terhadap inovasi produk yang dihasilkan, semakin besar kemungkinan konsumen untuk meninggalkan perusahaan tersebut.
Inovasi pada akhirnya diperlukan oleh perusahaan dalam menciptakan keunggulan bersaing. Porter (2002) menjelaskan bahwa inovasi produk dapat memperluas pasar dan karenanya meningkatkan pertumbuhan industri dan atau mempertinggi diferensiasi produk. Dengan inovasi produk, perusahaan melakukan pengembangan produk, sehingga dapat menciptakan produk yang mempunyai keunggulan bersaing. Sri Hadiati (2007:148) mengatakan bahwa keunggulan bersaing adalah kemampuan sebuah perusahaan untuk menang secara konsisten dalam jangka panjang dalam situasi persaingan. Song dan Parry (1997, p.64) menjelaskan bahwa keunggulan bersaing suatu produk merupakan salah satu faktor penentu dari kesuksesan produk dan pada akhirnya menimbulkan kepuasan konsumen. Karena apabila produk suatu perusahaan unggul dalam persaingan di pasaran, maka hal tersebut merupakan suatu kesuksesan atas produknya, yang nantinya berdampak pada tingkat pertumbuhan penjualan perusahaan, dengan semakin meningkatnya pertumbuhan penjualan ini mencerminkan bahwa konsumen mempunyai penilaian positif atas produk tersebut yang pada akhirnya dapat memberikan suatu kepuasan.
Industri gula di Indonesia pernah mengalami era kejayaan pada tahun 1930-an dengan jumlah pabrik gula (PG) yang beroperasi 179 pabrik, produktivitas sekitar 14,80%, dan rendemen 11−13,80%. Produksi puncak mencapai sekitar 3 juta ton dan ekspor gula 2,40 juta ton. Berbagai keberhasilan tersebut didukung oleh kemudahan dalam memperoleh lahan yang subur, tenaga kerja murah, prioritas irigasi, dan disiplin dalam penerapan teknologi (Simatupang et al. 1999; Tjokrodirdjo et al. 1999; Sudana et al. 2000). Setelah mengalami berbagai pasang surut, industri gula Indonesia kini hanya didukung oleh 60 PG yang aktif, yaitu 43 PG dikelola oleh BUMN dan 17 PG oleh swasta (Dewan Gula Indonesia 2000). Luas areal tebu yang dikelola pada tahun 1999 mencapai 341.057 ha yang umumnya terkonsentrasi di Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, dan Sulawesi Selatan. Industri gula Indonesia mulai menghadapi berbagai masalah yang serius pada tahun 1990-an, antara lain ditunjukkan oleh volume impor gula yang terus meningkat dengan laju 21,62%/ tahun pada periode 1989−1999, padahal laju impor pada dekade sebelumnya (1979−1989) hanya 0,98%/tahun. Hal ini terjadi karena konsumsi meningkat dengan laju 2,56%/tahun pada periode 1989−1999, sementara produksi gula dalam negeri menurun dengan laju 2,02%/tahun. Pada 5 tahun terakhir, produksi gula bahkan mengalami penurunan dengan laju 3,80%/tahun (Pakpahan 2000).
Harga gula di pasar internasional yang terus menurun dan mencapai titik terendah pada tahun 1999 juga menjadi penyebab kemunduran industri gula Indonesia. Penurunan harga gula ini terutama disebabkan oleh kebijakan hampir semua negara produsen dan konsumen utama yang melakukan intervensi terhadap industri dan perdagangan gula. Sebagai contoh, hampir semua negara menerapkan tarif impor lebih dari 50%. Di samping itu, kebijakan dukungan harga (price support) dan subsidi ekspor masih dilakukan oleh negara-negara besar seperti Eropa Barat dan Amerika Serikat (Groombridge, 2001). Hal ini mengakibatkan industri gula di Indonesia saat sedang menghadapi tantangan yang berat karena terjadi persaingan yang tidak adil. Sehingga industri gula Indonesia dalam posisi yang menghawatirkan, karena dengan persaingan yang tidak adil ini menambah keterpurukan industri gula di Indonesia karena belum lagi permasalahan lain seperti perbandingan kualitas gula Indonesia dengan gula impor.
Jumlah penduduk Indonesia adalah yang terbanyak nomer 5 di dunia, dengan total lebih dari 250 juta jiwa, jumlah penduduk Indonesia masih terus bertambah pada setiap harinya. Maka industri gula di Indonesia pun sudah seharusnya dapat terus tumbuh dan berkembang guna memenuhi kebutuhan dari penduduk Indonesia yang bertambah setiap tahunya. Namun, karena kondisi industri gula di Indonesia yang sejak tahun 1995 mulai mengimpor dengan lonjakan yang tajam (544.300) dari tahun sebelumnya 1994 (15.207 Ton) dan kembali berlanjut pada tahun 1996 (1.099.306), lalu sejak tahun 1999 rata-rata impor gula Indonesia diatas 1 juta Ton mengakibatkan perubahan menjadi negara yang mulai membutuhkan suplai gula dari luar (www.kompas.co.id). Kenyataanya sekarang industri gula di Indonesia bukan lagi menjadi pengekspor nomer dua dunia pada tahun 1930-an seperti yang dijelaskan sebelumnya atau setidaknya swasembada gula, namun malah menjadi negara pengimpor gula dengan jumlah besar dengan perbandingan yang miris. Perbandingan volume total kebutuhan gula nasional yang terdiri dari volume gula impor dan volume gula produksi nasional, disertai dengan jumlah prosentase pemenuhan gula yang merupakan prosentase gula nasional dari total kebutuhan gula nasional. Dapat dilihat pada dalam rincianya.
Tabel Volume Gula Indonesia Tahun 2000-2011
Tahun ImporGula Produksi Total Gula Prosentase
2000 1.538.519 1.690.667 3.231.186 52,32 %
2001 1.284.469 1.755.434 3.041.904 57,7 %
2002 970.926 1.631.919 2.604.847 62,64 %
2003 997.204 2.006.575 3.005.782 66,75 %
2004 1.119.790 2.051.642 3.171.432 64,69%
2005 1.980.487 2.241.742 4.222.229 53,09%
2006 1.405.942 2.307.000 3.712.942 62,13%
2007 2.972.788 2.623.800 5.596.588 46,88%
2008 983.944 2.668.428 3.652.372 73,06%
2009 1.373.546 2.333.885 3.707.431 62,95%
2010 2.610.000 2.288.735 4.898.735 46,72%
2011 3.060.000 2.126.669 5.186.669 41%
Sumber : www.bps.co.id
Dari data yang tersedia diatas menunjukan bahwa sejak tahun 2000 prosentase produksi gula nasional hanya bisa memenuhi total kebutuhan gula nasional dengan prosentase sebesar 52,32%. Lalu naik lagi pada tahun berikutnya pada tahun 2001 dengan prosentase sebesar 57,7%. Peningkatan pemenuhan prosentase kebutuhan gula nasional dari produksi dalam negeri juga terus naik sejak tahun 2002 (62,64%), 2003 (66,75), lalu menurun sedikit pada tahun 2004 (64,69%). Sempat menurun lagi pada tahun 2005 (53,09%) lalu naik lagi pada tahun 2006 (62,13%) namun turun lagi pada tahun 2007 (46,88%). Sebelum pada tahun 2008 naik drastis dengan prosentase 73,06% namun menurun lagi pada tiga tahun selanjutnya yaitu pada tahun 2009 (62,95%), 2010 (46,72%) dan 2011 (41%). Dengan demikian maka produksi gula nasional belum dapat memenuhi total kebutuhan nasional bahkan pada sejak tahun 2010 dan 2011 selalu menurun prosentasenya. Hal ini menjelaskan bahwa persaingan dalam industri gula nasional sedang menghadapi tantangan yang berat. Membanjirnya gula impor di Indonesia mengakibatkan industri gula nasional harus dapat bersaing dengan gula impor. Perlu sebuah pembaharuan bagi industri gula nasional agar dapat bersaing dengan gula impor yang dalam data diatas menunjukan bahwa memiliki jumlah yang hampir berimbang dalam 11 tahun terakhir bahkan pada tahun 2010 dan 2011 jumlah impor gula melebihi jumlah produksi gula nasional.
Hal ini juga mengakibatkan terjadinya persaingan yang ketat dalam industri gula didalam negeri. Dengan total impor yang besar mengakibatkan industri gula nasional mengalami persaingan yang ketat antar PG didalam negeri. Karena jumlah kuota impor yang besar memperkecil jumlah pasar yang ada bagi produksi gula nasional. Terjadi perebutan konsumen gula nasional di Indonesia terhadap 60 PG di Indonesia saat ini menghadapi banjirnya gula impor serta sesama PG. Maka terjadi persaingan yang ketat dalam industri gula yang datang baik itu dari luar negeri maupun dari dalam negeri. Namun sebenarnya apabila dilihat lagi jika dapat memanfaatkan dengan tepat maka hal ini bisa menjadi peluang yang besar. Dengan jumlah pangsa pasar yang masih besar, maka dengan tindakan yang tepat dapat memperoleh lahan yang besar dalam memasarkan produk gula. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa dalam menghadapi ketatnya persaingan saat ini perusahaan perlu memperhatikan kebutuhan dan keinginan dari konsumen. Karena jika kebutuhan dan keinginan konsumen dapat terpenuhi maka produk akan berhasil di pasaran, hal ini terjadi disebabkan konsumenlah yang menentukan sukses tidaknya produk pada akhirnya.
Selain daripada peningkatan kualitas produk dan kapasitas produksi, produk yang dapat menumbuhkan kepuasan kepada konsumen hal yang penting saat ini dalam menghadapi persaingan dari luar negeri maupun dari dalam negeri. Diperlukan sebuah pembaharuan dalam PG guna memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen sehingga dapat terwujudnya kepuasan konsumen. Inovasi menjadi hal yang sudah seharusnya dilakukan untuk dapat menanggapi perubahan yang ada. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Irinus Natalia (2009) atas pengaruh inovasi produk terhadap kepuasan konsumen menghasilkan bahwa inovasi produk mempunyai pengaruh positif terhadap kepuasan konsumen. artinya ketika perusahaan dapat membaca dan menganalisis peluang apa yang diinginkan konsumen, perusahaan akan selalu melakukan inovasi atas produknya agar dapat diterima oleh konsumen, dengan demikian semakin tingginya inovasi produk yang dihasilkan oleh suatu perusahaan, maka semakin tinggi kepuasan yang dialami oleh konsumen atas produk yang dikonsumsinya. Dunia saat ini tengah memasuki era globalisasi dan era informasi, dimana dalam era ini perubahan begitu cepat serta persaingan yang terjadi antar wilayah diberbagai belahan dunia terasa ketat karena sekat lintas wilayah yang mulai terasa semakin dekat. Untuk dapat terus mempertahankan konsumen diperlukan kepuasan konsumen, sedangkan untuk mempertahankan konsumen sendiri PG seharusnya memiliki keunggulan bersaing. Untuk dapat menimbulkan keunggulan bersaing diperlukan inovasi. Seperti yang juga dikatakan oleh Sensi Tribuana Dewi (2006 :33), perusahaan harus terlibat atau menciptakan inovasi secara terus menerus yang merupakan kebutuhan mendasar dalam suatu perusahaan untuk menciptakan keunggulan bersaing di tengah dapat bertahan dalam pasar yang bersifat dinamis. Oleh karena itu perusahaan yang mampu menciptakan atau mendesain inovasi produk yang berdasarkan keinginan konsumen dapat menjadi senjata dalam bertahan di tengah persaingan yang semakin ketat di dunia industri gula saat ini, karena dengan terpenuhinya kebutuhan dan keinginan dari konsumen maka produknya tetap diminati oleh konsumen.


Daftar Pustaka :
www.ptpnxi.com www.kompas.com www.bps.com
Dewan Gula Indonesia. 2000. Pabrik Gula Indonesia. Laporan Intern, Dewan Gula Indonesia, Jakarta.
Simatupang, P., A. Rachman, dan L. Pelitasari.1999. Gula dalam kebijakan pangan nasional:Analisis historis. hlm. 481−546. Dalam A.H.Sawit, P.Suharno, dan A. Rachman (Ed.).Ekonomi Gula Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Pakpahan, A. 2000. Membangun Kembali Industri Gula Indonesia. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta.
Groombridge, M.A. 2001. America's Bittersweet Sugar Policy. Trade Briefing Paper. Center for Trade Policy Study, CATO Institute, Washington DC.