Potensi Usaha Kecil dan Menengah : Empowerment ThroughAccess to Capital

Oleh : Artha Purdiansyah

“Pertumbuhan permintaan domestic, khususnya konsumsi pribadi dan investasi, akan menjadi penggerak utama pertumbuhan dalam sebagian besar negara di ASEAN. Pertumbuhan akan menjadi kurang dapat diandalkan dalam ekspor bersih dibandingkan di masa lalu.”

(Rintako Tamaki-Wasekjen OECD, dalam Peluncuran Outlook ekonomi ASEAN 2013 di Phnom Penh, Kamboja 2012)

Kutipan pernyataan diawal tulisan ini sekiranya dapat kita jadikan ceriman dan titik awal untuk memahami pentingnya pembangunan ekonomi, bahwa tidak selamanya dengan mengandalkan eksplotitasi kekayaan sumber daya alam dengan kekuatan modal dapat mendatangkan keuntungan yang maksimal bagi suatu negara. Selain rentan dengan faktor ketidakstabilan harga juga diperlukan sebuah upaya yang konkrit dan sustainable dalam menata industry dari hulu hingga ke hilir dengan mengedepankan aspek kebermanfaatan dan lingkungan tentunya. Sebab, dengan demikian nilai kebermanfaatan dari kegiatan ekonomi akan memberikan efek yang lebih luas bagi masyarakat.

Semakin kompleks, dan terdiversifikasinya pangsa pasar didunia menjadi tantangan serta peluang bagi sebagian besar negara untuk terus memperluas dan mengembangkan perekonomiannya agar mampu memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi dan nilai tambah berikutnya. Bersamaan dengan hal tersebut, berbagai negara saat ini sedang dihantui oleh perasaan traumatik akibat krisis ekonomi global yang belum kunjung pulih dan dapat sewaktu-waktu meledak kembali dan dapatmengancam ke berbagai negara lainnya. Inilah sekiranya konsekuensi dari wajah globalisasi yang telah mengikat berbagai negara kedalam wajah baru ekonomi dunia.Runtutan kekuatan ekonomi barat (Amerika dan Eropa) sudah dimulai semenjak krisis ekonomi pada era tahun 1960 hingga tahun 2008, yang menjadi tanda sekaligus peringatan bahwa globalisasi tidak selamanya menjanjingan pemerataan dan kesejahteraan ekonomi bagi negara dan masyarakatnya. Kekuatan pemodal dan pelaku bisnislah yang menggerakkan alur perekonomian hingga mencapai titik sekarang ini. Kekuatan modal selama ini hanya dioptimalkan dan diletakkan dipasar valas, pasar yang didasari sifat spekulatif dan jangka pendek dimana modal tersebut dapat sewaktu-waktu ditarik dari pasar jika kemudian kurang memberikan margin of return bagi pemilik modal.

Pengalaman krisis 15 tahun silam sekiranya juga dapat dijadikan sebuah rujukan sejarah perjalanan perekonomian Indonesia. Bahwa sector keuangan dan korporasi yang saat itu dijadikan icon dalam pembangunan nasional malahan menjadi boomerang bagi perekonomian nasional dikala itu. Praktik moral hazard dan adversion selection dari lembaga keuangan pada saat itu menjadikan perekonomian Indonesia ambruk. Pasar modal panic dan sector property gulung tikar akibat terjadinya lonjakan harga dan gagal bayar. Namun ditengah kondisi krisis ekonomi tersebut sector usaha mikro dan kecil masih mampu bertahan dari krisis.

Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) harus mendapatkan perhatian yang lebih dari Pemerintah maupun masyarakat agar dapat berkembang lebih kompetitif bersama para pelaku ekonomi lainnya. UKM memiliki peranan yang sangat strategis dalam pembangunan ekonomi, selain berperan sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, sektor UKM juga memilik andil besar dalam pendistribusian hasil-hasil pembangunan. Sejarah mencatat, krisis ekonomi yang melanda Indonesia telah membuat banyak usaha berskala besar mengalami stagnasi dan kemunduran. Namun tidak demikian dengan sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang mampu melewati dan tangguh dalam melewati krisis tersebut.

Seiring perkembangan waktu dan bergeliatnya perekonomian Indonesia, sektor UKM makin memberikan sumbangsih yang besar terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia (PDB). Pasca krisis Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kontribusi UKM terhadap PDB pada tahun 1997 mencapai 62,71 Persen, sementara itu pada tahun 2003 tumbuh menjadi 63,89 persen (Hafsah, 2004). Namun kendati demikian, akses permodalan terutama dari perbankan masih rendah terhadap sektor UKM, apalagi semakin liberalnya pasar serta terbatasnya kebijakan yang mendukung usaha kecil membuat keberadaan dari UKM semakin terhimpit.

Sejarah telah merekam bahwa sektor usaha kecil telah memiliki peran yang cukup signifikan terhadap pembangunan ekonomi suat negara. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Jepang tidak terlepas dari sumbangsih sektor usaha kecil, selanjutnya setelah perang dunia kedua, sektor usaha kecil memberikan sumbangsih yang cukup besar terhadap penciptaan lapangan pekerjaan di Amerika Serikat (Birch, 1979). Hal ini menunjukkan bahwa, sektor usaha yang bergerak disektor informal atau usaha kecil memiliki kekuatan tersendiri bagi perekonomian suat negara.

Perkembangan ekonomi kekinian telah memberikan titik tolak yang berbeda mengenai perhatian Negara Sedang berkembang dan Negara Maju terhadap sektor UKM (Partomo, 2004). Peranan dan sumbangsih sektor UKM di Negara Sedang Berkembang selama ini sedikit terpinggirkan dan tergusur oleh dominasi usaha berskala besar, namun seiring berkembangnya waktu sektor ini mulai mendapatkan perhatian dari pemerintah. Lain halnya di Negara Maju yang mendapatakan tempat dan perhatian khusus dikarenakan faktor-faktor positif yang diberikah pada perekonomian. Di Indonesia sendiri sudah seharusnya sektor UKM menjadi kekuatan ekonomi yang besar dengan didukung oleh kekayaan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia yang melimpah.

Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang telah disusun Pemerintah sebagai roadmap jangka menangah dan Panjang arah strategis dalam percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia untuk periode 15 tahun terhitung semenjak tahun 2011 mendatang, memiliki tujuan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur. Ketiga pilar yang dimiliki MP3EI didalamnya berupa penguatan kemampuan SDM dan IPTEK nasional diantaranya menjadi acuan dalam dalam membangun modal kemandirian ekonomi Indonesia.

Berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2015 menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia untuk mempersiapkan dan menatap pasar baru yang lebih luas. Kemandirian ekonomi harus diciptakan agar Indonesia siap menghadapi babak baru perekonomian di ASEAN, sehingga Indonesia tidak hanya menjadi negara yang berpartisipasi namun juga turut berperan serta didalamnya. Besarnya potensi makroekonomi UKM di Indonesia dapat menjadi peluang untuk mengembangkan pangsa pasar lain di Indonesia terutama pasar modal. Selain itu, berdasarkan survei yang pernah dilakukan dari 77 sampel perusahaan UKM sekitar 40 persen dari 15 provinsi di Indonesia yang berpotensi go publik atau masuk pasar modal. Hasil ini menunjukkan potensi perkembangan UKM di Indonesia tergolong tinggi diantara negara-negara di ASEAN (Depkeu RI, 2011).

Keunggulan demografi penduduk Indonesia dan kondisi stabilitas perekonomian Indonesia yang sedang membaik menjadi potensi tersendiri bagi perkembangan UKM di Indonesia. Kondisi tersebut membuat Indonesia menjadi pasar potensial yang menarik dan dapat terus berkembang. Keunggulan tersebut layaknya menjadi modal dasar bagi terus berkembangnya sektor UKM di Indonesia dengan melibatkan peran serta Pemerintah dan Masyarakat. Hal ini dapat dijadikan sebagai solusi dan alternatif bagi permasalahan ekonomi yakni pengangguran dan kemiskinan di Indonesia.

Sejalan dengan kondusifnya makro ekonomi dan perubahan paradigma perbankan dalam memandang UMKM dalam beberapa tahun belakangan ini pada perbankan memberikan angina segar bagi segmen UMKM. Kondisi ini sangat berbeda dengan era masa lalu di mana orientasi penyaluran kredit perbankan terlalu memusatkan pada korporasi yang dianggap lebih memberikan keuntungan besar secara ekonomis (Setyobudi, 2007). Namun kondisi tersebut belum sejalan dengan kesiapan UKM secara pengelolaan internal kegiatan dan manajemen usahanya untuk dapat mengakses permodalan di perbankan.

Berdasarkan data dari Bank Indonesia per Januari 2013, kredit perbankan yang terserap oleh sector usaha kecil dan menengah hanya mencapai 19 persen dari total kredit yang disalurkan perbankan. Hal ini menjadi permasalahan tersendiri bagi sector UKM. Bank Indonesia pun secara pro aktif telah mendorong perbankan di Indonesia untuk mewajibkan mengucurkan kredit ke sector UMKM mulai tahun 2015 sebesar 5 persen dari total kreditnya hingga mencapai 20 persen pada tahun 2018 (Kompas, April 2013). Namun dilain sisi peningkatan peran serta perbankan juga harus dibarengi dengan peran aktif Pemerintah melalui kementerian atau dinas terkait dengan melibatkan masyarakat agar terus berupaya secara berkesinammbungan memberikan penyuluhan/pelatihan dan pendampingan kepada usaha kecil dan menengah melalui program yang berkualitas untuk meningkatkan kualitas SDM dan pengelolaan usaha kecil yang termanajemen dengan baik. Selain itu kebijakan yang melindungi kepentingan keberlangsungan serta berkembangnya usaha kecil dan menengah harus menjadi agenda utama Pemerintah sebaai upaya melindungi produsen lokal demi mewujudkan kemandirian bangsa.

Jakarta Timur, Cawang, 8 April 2013

Daftar Referensi Bacaan

Hafsan, J.M. Dr.Ir. 2004. “Upaya Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM)”. Infokop Nomor 25 Tahun XX, 2004.

Departemen Keuangan RI, Badan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. 2011. “Laporan Studi Potensi UKM untuk Go Publik”.

Partomo, T.S. 2004. “Usaha Kecil Menengah dan Koperasi”. Working Paper Series No.9. Center for Industry and SME Studies. Faculty Of Economics of Trisakti.

Bank Indonesia. 2009. “Kajian Mengenai Rumusan Standart Minimum Laporan Keuangan dan Business plan untuk UMKM”. Persiapan BI daam menghadapi MEA 2015.

Tambunan,T. Hakim,L. 2010.”Policy Discussion Paper Series : Dikotomi strategi pembangunan dan Paradigma baru UMKM”. Center for Industry and SME Studies. Faculty Of Economics of Trisakti.

0 komentar:

Posting Komentar