AHLU SUNNAH WAL JAMA’AH

Oleh : Hudi Darmawan

Profile
Ahlus Sunnah wal Jama‟ah adalah mereka yang menempuh seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan berittiba‟ (mengikuti) Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu  anhum.


As-Sunnah  menurut bahasa (etimologi) adalah jalan/cara, apakah jalan itu baik atau buruk.[1]

Sedangkan menurut ulama „aqidah (terminologi), As-Sunnah adalah petunjuk yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabatnya, baik tentang ilmu, i‟tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan. Dan ini adalah As-Sunnah yang wajib diikuti, orang yang mengikutinya akan dipuji dan orang yang menyalahinya akan dicela.[2]

Pengertian As-Sunnah menurut Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah (wafat 795 H): “As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa i‟tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah As-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu generasi Salaf terdahulu tidak menamakan As-Sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H), Imam al-Auza‟i (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail bin„I yadh ( wafat th. 187 H ).”[3]

Disebut al-Jama‟ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah-belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegang kepada) al-haqq (kebenaran), tidak mau keluar dari jama‟ah mereka dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah.[4]

Jama‟ah menurut ulama „aqidah (terminologi) adalah generasi pertama dari ummat ini, yaitu kalangan Sahabat, Tabi‟ut Tabi‟in serta orang-orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari Kiamat, karena berkumpul diatas kebenaran.[5]

Imam Abu Syammah asy-Syafi‟i rahimahullah (wafat th. 665 H) berkata: “Perintah untuk berpegang kepada jama‟ah, maksudnya adalah berpegang kepada kebenaran dan mengikutinya. Meskipun yang melaksanakan Sunnah itu sedikit dan yang menyalahinya banyak. Karena kebenaran itu apa yang dilaksanakan oleh jama‟ah yang pertama, yaitu yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Sahabatnya tanpa melihat kepada orang-orang yang menyimpang  (melakukan
kebathilan) sesudah mereka.”

Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas‟udRadhiyallahuanhu:[6]

“Al-Jama‟ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian.” [7]

Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama‟ah adalah orang yang mempunyai sifat dan karakter mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid‟ah dalam agama.

Karena mereka adalah orang-orang yang ittiba‟ (mengikuti) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengikuti Atsar (jejak Salaful Ummah), maka mereka juga disebut Ahlul Hadits, Ahlul Atsar dan Ahlul Ittiba‟. Di samping itu, mereka juga dikatakan sebagai ath-Thaa-ifatul Manshuurah (golongan yang mendapatkan per-tolongan Allah), al-Firqatun Naajiyah (golongan yang selamat),
Ghurabaa' (orang asing)

Sejarah
Ahlussunnah Wal Jama‟ah (Aswaja) lahir dari pergulatan intens antara doktrin dengan sejarah. Di wilayah doktrin, debat meliputi soal kalam mengenai status Al-Qur‟an apakah ia makhluk atau bukan, kemudian debat antara Sifat-Sifat Allah antara ulama  Salafiyyun  dengan golongan  Mu’tazilah,  dan seterusnya.

Di wilayah sejarah, proses pembentukan Aswaja terentang hingga zaman al-khulafa’ ar-rasyidun, yakni dimulai sejak terjadi Perang Shiffin yang melibatkan Khalifah Ali bin Abi Thalib RA dengan Muawiyah. Bersama kekalahan Khalifah ke-empat tersebut, setelah dikelabui melalui taktik arbitrase (tahkim) oleh kubu Muawiyah, ummat Islam makin terpecah kedalam berbagai golongan. Di antara mereka terdapat Syi’ah yang secara umum dinisbatkan kepada pengikut Khalifah Ali bin Abi Thalib, golongan Khawarij yakni pendukung Ali yang membelot karena tidak setuju dengan  tahkim,  dan ada pula kelompok Jabariyah yang melegitimasi kepemimpinan Muawiyah.

Selain tiga golongan tersebut masih ada Murjiah  dan Qadariah, faham bahwa segala sesuatu yang terjadi karena perbuatan manusia dan Allah tidak turut campur  (af’al al-ibad min al-ibad) – berlawanan dengan faham Jabariyah.

Di antara  kelompok-kelompok itu, adalah sebuah komunitas yang dipelopori oleh Imam Abu Sa‟id Hasan ibn Hasan Yasar al-Bashri (21-110 H/639-728 M), lebih dikenal dengan nama Imam Hasan al-Bashri, yang cenderung mengembangkan aktivitas keagamaan yang bersifat kultural  (tsaqafiyah), ilmiah dan berusaha mencari jalan kebenaran secara jernih. Komunitas ini menghindari pertikaian
politik antara berbagai faksi politik  (firqah)  yang berkembang ketika itu. Sebaliknya mereka mengembangkan sistem keberagamaan dan pemikiran yang sejuk, moderat dan tidak ekstrim. Dengan sistem keberagamaan semacam itu, mereka tidak mudah untuk mengkafirkan golongan atau kelompok lain yang terlibat dalam pertikaian politik ketika itu.

Seirama waktu, sikap dan pandangan tersebut diteruskan ke generasi-generasi Ulama setelah beliau, di antaranya Imam Abu Hanifah Al-Nu‟man (w. 150 H), Imam Malik Ibn Anas (w. 179 H), Imam Syafi‟i (w. 204 H), Ibn Kullab (w. 204 H), Ahmad Ibn Hanbal (w. 241 H), hingg tiba pada generasi Abu Hasan Al-Asy‟ari (w 324 H) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H). Kepada dua ulama terakhir inilah permulaan faham Aswaja sering dinisbatkan; meskipun bila ditelusuri secara teliti benih-benihnya telah tumbuh sejak dua abad sebelumnya.

Indonesia merupakan salah satu penduduk dengan jumlah penganut faham Ahlussunnah wal Jama‟ah terbesar di dunia. Mayoritas pemeluk Islam di kepulauan ini adalah penganut madzhab Syafi‟i, dan sebagian terbesarnya tergabung  –  baik tergabung secara sadar maupun tidak  –  dalam jam‟iyyah Nahdlatul „Ulama, yang sejak awal berdiri menegaskan sebagai pengamal Islam ala Ahlussunnah wal-
Jama‟ah.

Relasi Dengan PMII
Kurang lebih sejak 1995/1997, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia meletakkan Aswaja sebagai  manhaj al-fikr. Tahun 1997 diterbitkan sebuah buku saku tulisan Sahabat Chatibul Umam Wiranu berjudul Membaca Ulang Aswaja (PB PMII, 1997). Buku tersebut merupakan rangkuman hasil Simposium Aswaja di Tulungagung. Konsep dasar yang dibawa dalam Aswaja sebagai manhaj al-fikr tidak dapat dilepas dari gagasan KH Said Agil Siraj yang mengundang kontroversi, mengenai perlunya
Aswaja ditafsir ulang dengan memberikan kebebasan lebih bagi para intelektual dan ulama untuk
merujuk langsung kepada ulama dan pemikir utama yang tersebut dalam pengertian Aswaja.

PMII memandang bahwa Ahlussunnah wal-jama’ah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan dengan berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleran. Aswaja bukan sebuah madzhab melainkan sebuah metode dan prinsip berpikir dalam menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial-kemasyarakatan; inilah makna Aswaja sebagai manhaj al-fikr.

Sebagai  manhaj al-fikr, PMII berpegang pada prinsip-prinsip  tawasuth  (moderat),  tawazun  (netral), ta’adul  (keseimbangan), dan  tasamuh  (toleran). Moderat   tercermin dalam pengambilan hukum (istinbath) yaitu memperhatikan posisi akal di samping memperhatikan nash. Aswaja memberi titik porsi yang seimbang antara rujukan  nash  (Al-Qur‟an dan al-Hadist) dengan penggunaan akal. Prinsip ini
merujuk pada debat awal-awal Masehi antara golongan yang sangat menekankan akal (mu’tazilah) dan golongan fatalis.

Sikap netral (tawazun) berkaitan sikap dalam politik. Aswaja memandang kehidupan sosial-politik atau kepemerintahan dari  kriteria dan pra-syarat yang dapat dipenuhi oleh sebuah rezim. Oleh sebab itu, dalam sikap tawazun, pandangan Aswaja tidak terkotak dalam kubu mendukung atau menolak sebuah rezim. Aswaja, oleh karena itu PMII tidak membenarkan kelompok ekstrim yang hendak merongrong
kewibawaan sebuah pemerintahan yang disepakati bersama, namun tidak juga berarti mendukung sebuah pemerintahan. Apa yang dikandung dalam sikap  tawazun  tersebut adalah memperhatikan bagaimana sebuah kehidupan sosial-politik berjalan, apakah memenuhi kaidah atau tidak. Keseimbangan  (ta’adul)  dan toleran  (tasamuh)  terefleksikan dalam kehidupan sosial, cara bergaul dalam kondisi sosial budaya mereka. Keseimbangan dan toleransi mengacu pada cara bergaul PMII
sebagai Muslim dengan golongan Muslim atau  pemeluk agama yang lain. Realitas masyarakat Indonesia yang plural, dalam budaya, etnis, ideologi politik dan agama, PMII pandang bukan semata-mata realitas sosiologis, melainkan juga realitas teologis. Artinya bahwa Allah SWT memang dengan sengaja menciptakan manusia berbeda-beda dalam berbagai sisinya. Oleh sebab itu, tidak ada pilihan sikap yang lebih tepat kecuali ta’adul dan tasamuh.

Aswaja dan PMII Rayon Ekonomi UNEJ (Opini)
Melihat kondisi sekarang , Aswaja di PMII Rayon Ekonomi. Keempat prinsip Aswaja ini sudah terterapkan dengan baik. Mulai dari sikap moderat PMII terhadap pemerintah, kalau dalam fakultas yaitu dekanat. Warga PMII mencerminkan prinsip moderat dalam Aswaja. Akan tetapi kondisi yang seperti ini tidak terlihat pada organisai intra yang memiliki kedekatan dengan PMII (umumnya pengurus
intra warga PMII). Dalam proses di intra para pengurus lebih mengutamakan sahabatnya sendiri walaupun dengan kemampuan kurang mumpuni (misal dalam kepanitiaan acara intra). Sebagai alasannya “Intra merupakan media belajar/berproser kader-kader PMII”. Walaupun demikian alangkah
bijaknya jika prinsip moderat itu di aplikasikan warga PMII dalam berorganisasi di intra. Dan ketiga prinsip lainnya sudah terimplementasikan dengan baik. Akan tetapi kewajiban nya adalah menjaga dan mentransformasikan ke kader-kader berikutnya. Perlu proses dan perjuangan dari setiap warga PMII agar Aswaja tetap lestari pada kehidupan (dalam bentuk ucapan dan perbuatan).


Footnote
[1]. Lisaanul „Arab (VI/399). 
[2]. Buhuuts fii „Aqidah Ahlis Sunnah (hal. 16). 
[3]. Jaami‟ul „Uluum wal Hikam (hal. 495) oleh Ibnu Rajab, tahqiq dan ta‟liq Thariq bin „Awadhullah bin
Muhammad, cet. II-Daar Ibnul Jauzy-th. 1420 H. 
[4]. Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa‟ah fil „Aqiidah. 
[5]. Syarhul „Aqiidah al-Waasithiyyah (hal. 61) oleh Khalil Hirras.
[6]. Beliau adalah seorang Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, nama lengkapnya „Abdullah bin Mas‟ud bin Ghafil bin Habib al-Hadzali, Abu „Abdirrahman, pimpinan Bani Zahrah. Beliau masuk Islam pada awal-awal Islam di Makkah, yaitu ketika Sa‟id bin Zaid dan isterinya -Fathimah bintu al-Khaththab- masuk Islam. Beliau melakukan dua kali hijrah, mengalami shalat di dua Kiblat, ikut serta dalam perang
Badar dan perang lainnya. Beliau termasuk orang yang paling „alim tentang Al-Qur-an dan tafsirnya sebagaimana telah diakui oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau dikirim oleh „Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu ke Kufah untuk mengajar kaum Muslimin dan diutus oleh „Utsman Radhiyallahu anhu ke Madinah. Beliau Radhiyallahu anhu wafat tahun 32 H. Lihat al-Ishaabah (II/368 no. 4954).
[7]. Al-Baa‟its „alaa Inkaaril Bida‟ wal Hawaadits hal. 91-92, tahqiq oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Salman dan Syarah Ushuulil I‟tiqaad karya al-Lalika-i (no. 160)

0 komentar:

Posting Komentar