Fenomena Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Peluang atau Ancaman?

Oleh : Artha Purdiansyah

I.    Pendahuluan


Salah satu aspek penting dalam kegiatan perekonomian adalah terciptanya kondisi makroekonomi yang kuat adalah dengan terkendalinya stabilitas ekonomi, inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang stabil. Paradigma dan konsepsi empiris tentang diskursus pertumbuhan ekonomi tidak hanya menjadi milik pemikir ekonom klasik maupun neoklasik, lebih dari pada itu dalam konteks kontemporer dengan konstelasi dan dinamika perekonomian berwarna globalisasi wacana mengenai pertumbuhan ekonomi selalu menjadi isu dan perdebatan hangat dalam era liberalisasi ekonomi saat ini.

Terjaganya indikator makroekonomi pada tingkatan yang stabil menjadi tolak ukur awal dalam menciptakan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Mengacu tidak jauh dari logika makroekonomi tersebut, maka permasalahan-permasalahan ekonomi dalam proses pembangunan ekonomi harus dijadikan sebagai kerangka fikir dasar dalam menciptakan stabilitas makroekonomi. Sehingga terciptalah pemerataan dan efek domino hingga kesektor riil dari pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Permasalahan-permasalahan makroekonomi yang dipaparkan (Sukirno, 2001:9-10) menjelaskan bahwa instabilitas kegiatan ekonomi, pengangguran dan inflasi, neraca perdagangan dan pembayaran serta pertumbuhan ekonomi merupakan isu pokok yang menjadi kajian khusus bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan ekonomi. Tentunya dalam pertimbangan trade-off  kebijakan antara saluran fiskal dan moneter yang memiliki saluran tersendiri untuk mencapai target indikator kebijakannya.


 Kerangka permasalahan makroekonomi akan membawa kita dalam paradigma pembangunan ekonomi yang berawal dari pemahaman terhadap prasyarat dasar dari pembangunan ekonomi. Beberapa prasyarat dasar pembangunan ekonomi disampaikan oleh Lewis dan Cairncross dalam (Jhingan, 1993:52-71) yang menjelaskan bahwa menciptakan pembangunan ekonomi tidak hanya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi, akan tetapi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dibutuhkan upaya untuk menciptakan efisiensi ekonomi, transfer teknologi dan akumulasi pengelolaan iklim permodalan. Selain dari pada itu sistem birokrasi, kepastian hukum dan kondisi sosial politik juga menaruh andil besar dalam pembangunan ekonomi.


Indonesia yang secara demografis terdiri dari negara kepulauan pada kenyataannya masih menyisakan kesenjangan dan ketidakmerataannya pembangunan ekonomi. Koneksitas pembangunan ekonomi antar daerah dan pulau menjadi problem mendasar dari kesenjangan dan pemerataan pembangunan ekonomi. Belum meratanya pembangunan infrastruktur hingga akses permodalan yang kurang serta kebijakan pemerintah dalam hierarki birokrasi dan kepastian hukum menjadi penghambat pemerataan pembangunan ekonomi.


Ditengah arus krisis ekonomi global yang disebabkan oleh krisis Eropa dan resesi ekonomi di Amerika Serikat, Indonesia dalam beberapa kurtal terakhir masih mampu mempertahankan pertumbuhan ekonominya diatas 6%. Pencapaian ini tentunya tidak terlepas dari beberapa aspek yang menyulam rambatan efek krisis global baik disektor keuangan, pasar modal, dan kinerja perdagangan Indonesia. Kepercayaan dunia terhadap iklim ekonomi Indonesia membuat arus capital inflow melalui Foreight Direct Investment (FDI) maupun modal dipasar valas membuat perekonomian Indonesia masih mengalami surplus transaksi dalam neraca pembayarannya, selain dukungan dari pasar domestik yang menjanjikan.


Kondisi ditengah krisis global dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap stabil merupakan suatu capaian prestasi ekonomi yang membanggakan. Menteri Keuangan RI Agus D.W Martowardojo menyatakan bahwa saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia merupakan terbesar ke-16 didunia (Depkeu, 2012). Namun kemudian efek pengalihan modal oleh investor asing yang menginvestasikan dananya pada Indonesia sebagai salah satu pemicu pertumbuhan ekonomi belum memberikan implikasi merata terhadap pembangunan ekonomi Indonesia secara riil dan umum.


Pemerintah secara terpisah melalui analisa data statistiknya menyebutkan bahwa struktur perekonomian Indonesia secara spasial lebih didominasi kelompok provinsi yang berada dipulau Jawa. Provinsi dipulau Jawa secara statistis memberikan kontribusi 57,52% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Sementara itu provinsi lain yang ada dipulau Sumatera berkisar 15,31%, serta beberapa pulau lain yang provinsinya memberikan porsi kontribusi kecil terhadap PDB (Depkeu, 2012). Perumusan strategi dan kebijakan yang tepat dalam pemerataan pembangunan ekonomi dalam jangka panjang akan menciptakan pemerataan pada motor pertumbuhan ekonomi Indonesia.


Banyaknya permasalahan berkaitan dengan fundamental makroekonomi yang belum terselesaikan di Indonesia seperti terjaganya laju inflasi, iklim investasi dan keuangan, penganguran, jaminan sosial masyarakat, keterjangkauan layanan akses kesehatan dan pendidikan, pembangunan infrastruktur hingga tata kelola birokrasi dan kepastian hukum menjadi pekerjaan rumah besar pemerintah. Sebab bukan tidak mungkin jika kondisi perekonomian global berbalik, dan Indonesia tidak bisa mengambil momentum yang tepat dalam pemerataan pembangunan ekonominya, dampak kejutan eksternal tersebut bisa jadi menjadi titik tolak dari kembangkitan ekonomi Indonesia.


II.    Pelajaran Krisis Ekonomi Indonesia


Rekam sejarah memori terpuruknya perekonomian Indonesia akibat terpaan krisis ekonomi yang melanda pada tahun 1997 silam setidaknya menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun sendi-sendi penggerak perekonomiannya dan mereformasi sitem birokrasinya untuk selalu berhati-hati dalam menentukan prioritas dan kebijakan dalam pembangunan ekonominya.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia tentunya tidak terlepas oleh krisis yang juga melanda negara-negara diregional ASEAN (Thailand) dan beberapa negara di Asia Timur (Hongkong, Korsel). Kondisi tersebut sangat erat kaitannya dengan perjalanan perekonomian global melalui liberalisasi pasar modalnya yang dalam perjalanannya masih menimbulkan kesenjangan antara negara industri maju dan negara berkembang (Stiglizt, 2006). Instabilitas ekonomi tidak dapat dihindari pada saat itu yang efek dominonya pada akhirnya sampai ke Indonesia dan menimbulkan krisis ekonomi.


Pencapaian prestasi ekonomi negara-negara Asia pada periodesasi liberalisasi ekonomi tahun 1980-1990an ditandai oleh berlipatnya keuntungan dan pencapaian kinerja perekonomian. Pencapaian tersebut ditandai dengan naiknya pendapatan perkapitan hingga 4-10 kali lipat dan pertumbuhan ekonomi yang stabil pada kisaran rata-rata 8% selama satu dekade. Namun pencapaian tersebut tidak menghindarkan negara-negara diAsia dari terpaan krisis. Pada akhir tahun 1990an menjadi penanda runtuhnya kekuatan ekonomi Asia (Purdiansyah, 2012:44-45).


Berkenaan dengan kondisi perekonomian Asia saat itu, Fisher (1998) berpendapat bahwa krisis yang melanda Asia dipicu oleh keberhasilan ekonomi negara-negara Asia tersebut. Keadaan itu sebagai konsekuensi dari liberaisasi sektor keuangan yang mengharuskan negara-negara diAsia menyesuaikan sistem keuangannya terhadap liberasisasi ekonomi dengan derasnya aliran modal asing yang masuk. Disisi lain, regulasi dan sistem keuangan dibeberapa negara Asia belum siap dan sesuai dengan tuntutan penyesuaian liberalisasi dan integrasi pasar barang, jasa dan modal tersebut.


Generasi krisis yang melanda Asia termasuk Indonesia bersifat twin crisis (Krisis nilai tukar dan perbankan). Kondisi pada saat itu dipicu oleh lemahnya regulasi dan peran otoritas moneter (Bank Indonesia) dalam mengatur dan mengawasi sistem keuangan dan lembaga keuangan perbankan di Indonesia dalam mengalokasikan capital inflow dari Asing. Selain sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating foreign exchange) yang di pakai Indonesia membuat nilai mata uang rupiah melemah terhadap dollar Amerika yang menyebabkan terkurasnya cadangan devisa negara untuk menyelamatkan nilai mata uang rupiah (Madura, 1997:157), (Nasution, 2003:1).


Kondisi perekonomian Indonesia telah jauh berbeda dari satu dekade lebih yang lalu. Deregulasi dan penataan sistem keuangan perbankan, pembagian tugas dan wewenang otoritas moneter dan pengawasan terhadap lembaga keuangan bank dan non bank yang dibagi antara Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sistem nilai tukar, kondisi cadangan devisa, serta kondisi fundamental makroekonomi Indonesia menjadi penanda bangkitnya kembali pembangunan ekonomi nasional.


Perekonomian Indonesia yang terus tumbuh dan berkembang masih menyisakan celah ancaman yang sewaktu-waktu dapat mengancam stabilitas perekonomian nasional dari guncangan eksternal (Resesi Ekonomi Global, Lonjakan Harga Minyak Dunia). Kebijakan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan hutang luar negeri, terlalu besaran alokasi subsidi energi yang terus membengkak, inefisiensi birokrasi, distorsi kekuatan pasar dalam negeri, defisit neraca perdagangan, pemerataan pembangunan infrastruktur, ancaman krisis pangan, volatilitas pasar valas dilantai bursa menjadi ancaman terhadap perekonomian Indonesia.


III.    Peluang Ekonomi Indonesia


Berpijak pada kerangka teoritis yang dibangun oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan antara peran pemerintah pada porsi perkembangan pengeluaran pemerintah dan tahapan pembangunan ekonomi (Mangkoesoebroto, 1993:170). Rostow berpendapat bahwa pada tahapan pembangunan ekonomi menengah, peran pemerintah dalam investasinya diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, namun pada tahapan ini peran sektor swasta sudah semakin besar dalam menggerakkan pembangunan ekonomi.
Berdasarkan teori tersebut, kondisi perekonomian Indonesia menunjukkan tipe pembangunan ekonomi pada tahapan menengah, artinya peran pemerintah dalam menginvestasikan modalnya untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi tetap diperlukan, seperti subsidi energi (Listrik, BBM), kebutuhan pertanian dan pangan (Pupuk, Beras dll). Selain itu porsi sektor swasta juga semakin memiliki andil besar dalam pembangunan ekonomi seperti dalam pembangunan infrastruktur (Jalan, Jembatan, Pelabuhan dll).


Model pembangunan menurut Musgrave berpandangan bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta memiliki prosentase lebih besar terhadap Gross Domestic Product (GDP) sementara pemerintah menempati porsi yang semakin kecil. Dengan membaiknya iklim investasi dan perkembangan pertumbuhan ekonomi yang stabil diharapkan arus investasi modal yang masuk dapat diserap secara maksimal oleh sektor produktif sehingga dapat menggerakkan perekonomian dan menciptakan lapangan kerja juga meningkatkan output agregate (Mangkoesoebroto, 1993:170).


Stabilitas ekonomi Indonesia yang tetap kuat dan stabil dengan pertumbuhan ekonominya. Menjadi sebuah kajian dan analisis menarik dari pada analisi dan pengamat ekonomi. Dalam harian media masa (Kompas, Rabu, 14 November 2012) dalam forum Komite Ekonomi Nasional (KEN), Raoul FML Oberman mengatakan bahwa agar Indonesia dapat meraih momentum kinerja ekonomi nasionalnya yang menunjukkan trend membaik dan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan perekonomian terbesar ke-7 di dunia pada tahun 2030 maka Indonesia harus memiliki prioritas dalam pembangunan ekonominya.


Sektor potensial yang dimiliki oleh Indonesia untuk mewujudkan visi tahun 2030 tersebut difokuskan pada empat sektor prioritas yakni pertama, sektor konsumsi masyarakat. Meningkatnya masyarakat kelas menengah Indonesia akan memberikan efek linier terhadap permintaan kebutuhan akan barang konsumsi maupun jasa. Kedua, pertanian dan perikanan. Kebijakan yang pro terhadap peningkatan kapasitas peningkatan kualitas dan kuantitas sektor pertanian harus menjadi perhatian khusus dari pemerintah, sebab permintaan akan barang konsumsi dari pertanian dan perikanan akan meningkat seiring dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk.


Ketiga, sumber daya alam. Ketergantungan Indonesia terhadap pasokan bahan bakan minyak bumi harus segera dialihkan pada energi alternatif yang lebih efisien dan hemat. Selain kekayaan minyak bumi, kandungan kekayaan gas alam Indonesia yang sangat potensial dan besar bisa dijadikan sebagai energi alternatif. Keempat, sumber daya manusia. Menurut Raoul, dengan pertumbuhan ekonomi yang konservatif diantara 5-6% saja pertahun, diperkirakan pada tahun 2030 Indonesia akan membutuhkan tambahan tenaga kerja sebanyak 43 Juta jiwa dari tahun ini yang berjumlah 109 juta jiwa. Selain sinergitas dengan lembaga pendidikan agar dapat mencetak tenaga kerja yang terampil dan terdidik.


IV.    Penutup


Dinamika perjalanan panjang proses pembangunan ekonomi hingga pencapaian saat ini tidak terlepas dari sejarah masa lalu yang dapat dijadikan bahan pertimbangan empiris maupun evaluasi dan perencanaan terhadap strategi pengembangan dan pembangunan ekonomi Indonesia. Sebab siklus ekonomi juga dapat berulang dalam kurun waktu yang tidak dapat kita perkirakan. Sehingga peran pemangku kebijakan fiskal (Pemerintah) dan otoritas moneter (Bank Indonesia) dalam mengawasi, mengevaluasi dan memproyeksikan perekonomian jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang dapat dipersiapkan dan diprediksi dengan maksimal.


Prioritas pembangunan ekonomi sebaiknya diarahkan pada sektor prioritas yang menjadi peluang untuk menjaga dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi Indonesia, sehingga akan menciptakan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang merata dan berkelanjutan. Kesenjangan pembangunan ekonomi antar daerah akan menurun seiring dengan koneksitas dan integrasi ekonomi antar daerah dengan membuat pusat pertubuhan ekonomi baru tentunya dengan sinergitas antara pemerintah pusat dan daerah memaksimalkan dan merealisasikan program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
 
Daftar Pustaka

Fisher, I. 1911. The Purchasing Power of Money, 2nd editor, 1926, repreinted by Augustus Kelley, New York, 1963.
Jhingan, M.L. 1993. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Edisi 1. Cetakan Keempat. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada.
Madura, J. 1997. Manajemen Keuangan Internasional. Jakarta : Erlangga.
Mangkoesoebroto,G. 1993. Ekonomi Publik. Edisi Ketiga. BPFE-Yogyakarta.
Nasution, A. 2003. “Masalah-masalah Sistem Keuangan dan Perbankan di Indonesia”. Disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional -Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Rl. (Diakses 9 Juni 2012)
Purdiansyah, A. 2012. “Analisis Kinerja Sektor Keuangan Industri Perbankan Terhadap Stabilitas Keuangan Di Indonesia”. Skripsi. Jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Jember.
Stiglitz, J.E. 2001. Failure of the fund : Rethinking the IMF Response. Harvard International Review.
Sukirno, S. 2001. “ Pengantar Teori Ekonomi Makro”. Edisi Kedua. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
http://Kementeriankeuangan.htm

0 komentar:

Posting Komentar