Apa yang membedakan tangan kiri dan tangan kanan? Kebanyakan orang
memandang bahwa fungsi tangan kanan lebih mulia ketimbang tangan kiri.
Satu contoh, tangan kanan dibiasakan untuk menulis, makan, memberi
sedekah, sedangkan tangan kiri biasanya digunakan untuk mengupil dan
membersihkan kotoran. Lantas mengapa atau apa hubungannya dengan istilah
Lenin tentang kiri kekanak-kanakan? Apakah yang dewasa itu selalu
kanan? Atau jangan- jangan, kita telah terhegemoni dengan kebiasaan
tersebut yang membuat kita mengerdilkan fungsi sebenarnya tangan kiri.
Sejarah istilah kiri secara politis dimulai pada tahun 1878 setelah
revolusi Prancis, kiri adalah tempat duduk parlemen yang dihuni oleh
kalangan penentang Raja, sedangkan kanan pendukung Istana, sementara
yang tengah adalah kalangan Moderat. Istilah kiri mengalami perkembangan
semenjak munculnya Karl Marx yang mengilmiahkan sosialisme dan
meradikalkan komunisme.
Kemudian diteruskan anak muridnya seperti
Lenin, Stalin, Rosa Luxemburg maupun Tan Malaka. Dari sini, kiri
diidentikan dengan gerakan Komunis, Sosialis, maupun Anarkis. Namun,
ketika Partai Komunis berkuasa di Rusia awal abad 20, ternyata kiri yang
sering didengung-dengungkan sebagai gerakan atau pemikiran yang
antikemapanan, anti-status quo, antipenindasan dan menegakkan keadilan
dengan membela rakyat kecil, telah balik menghegemoni buruh dan petani
untuk kepentingan partai dan kemakmuran pemegang kekuasaan negara.
Para elite partai dan politikus di Rusia masa itu melakukan tindakan
teror dan pembunuhan pada rakyat agamis untuk meninggalkan agamanya dan
harus menganut ideologi Komunis. Intelektual-intelektual kontemporer
seperti Jurgen Habermas, Michel Foucault, Hasan Hanafi, mulai memikirkan
ulang apakah benar kiri itu harus identik atau disimbolkan dengan
komunis? Karena menurut mereka, kiri itu hakikatnya adalah pembacaan
ulang secara kritis atas berbagai bentuk pengetahuan yang dominan yang
kemudian diperlakukan sebagai kebenaran satu-satunya, dengan
meminggirkan kebenaran lain. Kiri akan menjadi gerakan sosial ketika
penunggalan kebenaran itu dipraktekkan dalam sebuah sistem politik
kewarganegaraan yang memaksa rakyat untuk tunduk digusur, taat membayar
pajak, dinaikkan harga listrik, tapi diturunkan harga beras dan
sayur-mayur, menerima dipecat dari tempat kerjanya sebagai bentuk
rasionalisasi perusahaan, di lain pihak diwajibkan menghapalkan
sila-sila dalam Pancasila ataupun diwajibkan utuk mencoblos dalam pemilu
ketika partai-partai yang ada tidak merepresentasikan tuntutan
reformasi.
Akhirnya, membedah kiri berikut historitas antara teori
dan praktiknya sebenarnya menarik untuk kita saat ini, karena kiri tidak
lagi identik dengan komunis tapi kiri itu bisa muncul dari agama
ataupun dunia pendidikan. Ini kemudian yang terlihat ketika membaca buku
ini secara cermat, yang memfokuskan kajian epistemologi kiri dari
tokoh-tokoh yang menentang modernitas dalam menyusun asumsi dasar
epistemologi sebuah pengetahuan dengan mengagung-agungkan positifitas
dan penunggalan obyek dan metodenya. Dan ini sebenarnya penting
diketahui oleh Orde Baru dan rezim reformasi saat ini, yang selalu
mengidentikkan kiri sebagai tak bertuhan dan selalu berbuat anarkisme.
Karl Marx walaupun lahir dalam abad pertama munculnya modernitas dan
gerakan awal kapitalisme Eropa dengan ekspansi dan perdagangan, menolak
untuk bersikap seperti para filsuf sezamannya bahkan mengkritik filsuf
besar Hegel, yang menurutnya para filsuf itu kerjanya hanya ribut dan
debat kusir tentang menafsirkan dunia yang indah itu bagaimana.
Dari
Marx kita memperoleh pelajaran orang pintar itu tidak cukup hanya
berbicara di seminar-seminar dan menulis suatu pendapat yang ilmiah,
tapi juga harus terjun ke masyarakat untuk tahu kondisi sebenarnya dan
tahu bagaimana mengatasi masalah secara nyata.
Lain halnya dengan
Nietzsche yang melakukan pembalikan total atas nilai kebenaran yang
dianggap kekal oleh masyarakat akademis dan agamis di sekitarnya.
Nietzsche melihat kebenaran hakiki di dunia itu sebenarnya tidak ada.
Tapi mengapa cendekiawan itu bisa memediasi kebenaran melalui akal?
Menurut Nietzsche hal itu karena mereka sebenarnya hendak berkuasa
dengan mengetahui akan kebenaran sehingga orang-orang itu bisa
mengaplikasikan kebenaran pada realitas itu menurut sekehendaknya pada
orang-orang bodoh.
Buku ini kemudian membahas pemikiran para penerus
(penafsir Marxisme), yaitu intelektual asal Italia, Antonio Gramsci. Ia
yang mengagagas hegemoni kekuasaan yang baru bukanlah hanya represif
tapi juga melalui manipulasi budaya dan kesadaran, yang mana belum
dibahas oleh Karl Marx secara cermat. Ini kemudian yang dikembangkan
oleh Michael Foucault dalam melihat kekuasaan bukan lagi sebagai
politik, tapi kekuasaan adalah nama yang diberikan pada situasi
strategis, yang rumit yang terdapat dalam masyarakat dan kurun tertentu.
Marx Hoekeimer, Herbet Marcuse, dan Jurgen Habermas merupakan tokoh-
tokoh teori kritis yang mengkritik rasio instrumen, rasio teknis, di
mana yang menjadikan rasio yang dulunya melakukan perlawanan terhadap
mitos, kini mengabdi pada kekuasaan negara, kapitalisme perdagangan.
Di sinilah mereka mengkritik penunggalan dimensi manusia, dan menggagas
pentingnya masyarakat komunikatif dan kritis. Dari tokoh- tokoh inilah
muncul istilah gerakan kiri baru di Amerika pada tahun 1960- an.
Tokoh-tokoh Poststrukturalis, Postmodernis, seperti Michael Foucault,
Paul K. Feyerabendm dan Jacgues Derrida, melakukan gerakan dekonstruksi,
pembongkaran teksm dan menyerang metode modernitas dalam menyusun
pengetahuan dan pelegitimasian atas kekuasaan untuk melanggengkan
ketidakadilan. Di sinilah mereka menerapkan pluralisme teori dan
metodologi, yang menurut mereka justru akan memajukan ilmu pengetahuan
yang tidak dapat dicapai dengan mengikuti teori tunggal.
Buku ini
semakin menarik untuk dibaca karena memunculkan pemikiran dan gerakan
kiri dari dunia pendidikan dan agama. Dalam dunia pendidikan buku ini
mengambil tokoh Paulo Freire yang menggagas tentang pendidikan untuk
kaum tertindas. Sementara dari agama memunculkan konsep oksidentalisme
dari Hasan Hanafi, pembacaan teks suci secara kritis oleh Mohammed
Arkoun dan teologi pembebasan agama-nya Asghar Ali Egineer.
Epistemologi sebagai bentuk pengetahuan dari upaya intelektual untuk
"menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepatnya", dengan mengetengahkan
ciri-ciri umum dan hakiki pengetahuan manusia baik obyek dan metode
pendekatannya. Maka apa yang disimpulkan dari buku Epistemologi kiri ini
mencerminkan perkembangan dari gerakan dan pemikiran kiri kontemporer
(postmoderen) yang mengkerucut pada persoalan dari lahir, susunan dan
konsekuensi proyek modernitas dengan sistem totaliarianisme pada sistem
ekonomi dan politik, haruslah dirubah secara fundamnetal dan
revolusioner.
Namun, sayangnya buku ini karena memang seperti
dikatakan oleh editornya Listiono Santoso merupakan kumpulan makalah
filsafat di Progam Pasca Sarjana UGM, bukanlah gagasan yang sistematis
tentang konteks lahirnya epistemologi kiri berikut perkembangan
mutakhirnya, apalagi analisis jenis epistemologi yang mana cara
kerjanya, apakah Nietzsche dan Feyerabend termasuk skeptisme mutlak atau
relatif menjadi pertanyaan. Tapi semangat kiri yang ada dalam buku ini
memang layak dijadikan referensi kita untuk mengaktualisaikan kehidupan
dengan dasar kemanusiaan, kemajuan pembaharuan, dan proses yang tidak
boleh berhenti. silahkan sahabat/i di bedah dg pisau kritis dan
analilitis masing2...!
Apa yang membedakan tangan kiri dan tangan kanan? Kebanyakan orang memandang bahwa fungsi tangan kanan lebih mulia ketimbang tangan kiri. Satu contoh, tangan kanan dibiasakan untuk menulis, makan, memberi sedekah, sedangkan tangan kiri biasanya digunakan untuk mengupil dan membersihkan kotoran. Lantas mengapa atau apa hubungannya dengan istilah Lenin tentang kiri kekanak-kanakan? Apakah yang dewasa itu selalu kanan? Atau jangan- jangan, kita telah terhegemoni dengan kebiasaan tersebut yang membuat kita mengerdilkan fungsi sebenarnya tangan kiri.
Sejarah istilah kiri secara politis dimulai pada tahun 1878 setelah revolusi Prancis, kiri adalah tempat duduk parlemen yang dihuni oleh kalangan penentang Raja, sedangkan kanan pendukung Istana, sementara yang tengah adalah kalangan Moderat. Istilah kiri mengalami perkembangan semenjak munculnya Karl Marx yang mengilmiahkan sosialisme dan meradikalkan komunisme.
Kemudian diteruskan anak muridnya seperti Lenin, Stalin, Rosa Luxemburg maupun Tan Malaka. Dari sini, kiri diidentikan dengan gerakan Komunis, Sosialis, maupun Anarkis. Namun, ketika Partai Komunis berkuasa di Rusia awal abad 20, ternyata kiri yang sering didengung-dengungkan sebagai gerakan atau pemikiran yang antikemapanan, anti-status quo, antipenindasan dan menegakkan keadilan dengan membela rakyat kecil, telah balik menghegemoni buruh dan petani untuk kepentingan partai dan kemakmuran pemegang kekuasaan negara.
Para elite partai dan politikus di Rusia masa itu melakukan tindakan teror dan pembunuhan pada rakyat agamis untuk meninggalkan agamanya dan harus menganut ideologi Komunis. Intelektual-intelektual kontemporer seperti Jurgen Habermas, Michel Foucault, Hasan Hanafi, mulai memikirkan ulang apakah benar kiri itu harus identik atau disimbolkan dengan komunis? Karena menurut mereka, kiri itu hakikatnya adalah pembacaan ulang secara kritis atas berbagai bentuk pengetahuan yang dominan yang kemudian diperlakukan sebagai kebenaran satu-satunya, dengan meminggirkan kebenaran lain. Kiri akan menjadi gerakan sosial ketika penunggalan kebenaran itu dipraktekkan dalam sebuah sistem politik kewarganegaraan yang memaksa rakyat untuk tunduk digusur, taat membayar pajak, dinaikkan harga listrik, tapi diturunkan harga beras dan sayur-mayur, menerima dipecat dari tempat kerjanya sebagai bentuk rasionalisasi perusahaan, di lain pihak diwajibkan menghapalkan sila-sila dalam Pancasila ataupun diwajibkan utuk mencoblos dalam pemilu ketika partai-partai yang ada tidak merepresentasikan tuntutan reformasi.
Akhirnya, membedah kiri berikut historitas antara teori dan praktiknya sebenarnya menarik untuk kita saat ini, karena kiri tidak lagi identik dengan komunis tapi kiri itu bisa muncul dari agama ataupun dunia pendidikan. Ini kemudian yang terlihat ketika membaca buku ini secara cermat, yang memfokuskan kajian epistemologi kiri dari tokoh-tokoh yang menentang modernitas dalam menyusun asumsi dasar epistemologi sebuah pengetahuan dengan mengagung-agungkan positifitas dan penunggalan obyek dan metodenya. Dan ini sebenarnya penting diketahui oleh Orde Baru dan rezim reformasi saat ini, yang selalu mengidentikkan kiri sebagai tak bertuhan dan selalu berbuat anarkisme.
Karl Marx walaupun lahir dalam abad pertama munculnya modernitas dan gerakan awal kapitalisme Eropa dengan ekspansi dan perdagangan, menolak untuk bersikap seperti para filsuf sezamannya bahkan mengkritik filsuf besar Hegel, yang menurutnya para filsuf itu kerjanya hanya ribut dan debat kusir tentang menafsirkan dunia yang indah itu bagaimana.
Dari Marx kita memperoleh pelajaran orang pintar itu tidak cukup hanya berbicara di seminar-seminar dan menulis suatu pendapat yang ilmiah, tapi juga harus terjun ke masyarakat untuk tahu kondisi sebenarnya dan tahu bagaimana mengatasi masalah secara nyata.
Lain halnya dengan Nietzsche yang melakukan pembalikan total atas nilai kebenaran yang dianggap kekal oleh masyarakat akademis dan agamis di sekitarnya. Nietzsche melihat kebenaran hakiki di dunia itu sebenarnya tidak ada. Tapi mengapa cendekiawan itu bisa memediasi kebenaran melalui akal?
Menurut Nietzsche hal itu karena mereka sebenarnya hendak berkuasa dengan mengetahui akan kebenaran sehingga orang-orang itu bisa mengaplikasikan kebenaran pada realitas itu menurut sekehendaknya pada orang-orang bodoh.
Buku ini kemudian membahas pemikiran para penerus (penafsir Marxisme), yaitu intelektual asal Italia, Antonio Gramsci. Ia yang mengagagas hegemoni kekuasaan yang baru bukanlah hanya represif tapi juga melalui manipulasi budaya dan kesadaran, yang mana belum dibahas oleh Karl Marx secara cermat. Ini kemudian yang dikembangkan oleh Michael Foucault dalam melihat kekuasaan bukan lagi sebagai politik, tapi kekuasaan adalah nama yang diberikan pada situasi strategis, yang rumit yang terdapat dalam masyarakat dan kurun tertentu.
Marx Hoekeimer, Herbet Marcuse, dan Jurgen Habermas merupakan tokoh- tokoh teori kritis yang mengkritik rasio instrumen, rasio teknis, di mana yang menjadikan rasio yang dulunya melakukan perlawanan terhadap mitos, kini mengabdi pada kekuasaan negara, kapitalisme perdagangan.
Di sinilah mereka mengkritik penunggalan dimensi manusia, dan menggagas pentingnya masyarakat komunikatif dan kritis. Dari tokoh- tokoh inilah muncul istilah gerakan kiri baru di Amerika pada tahun 1960- an.
Tokoh-tokoh Poststrukturalis, Postmodernis, seperti Michael Foucault, Paul K. Feyerabendm dan Jacgues Derrida, melakukan gerakan dekonstruksi, pembongkaran teksm dan menyerang metode modernitas dalam menyusun pengetahuan dan pelegitimasian atas kekuasaan untuk melanggengkan ketidakadilan. Di sinilah mereka menerapkan pluralisme teori dan metodologi, yang menurut mereka justru akan memajukan ilmu pengetahuan yang tidak dapat dicapai dengan mengikuti teori tunggal.
Buku ini semakin menarik untuk dibaca karena memunculkan pemikiran dan gerakan kiri dari dunia pendidikan dan agama. Dalam dunia pendidikan buku ini mengambil tokoh Paulo Freire yang menggagas tentang pendidikan untuk kaum tertindas. Sementara dari agama memunculkan konsep oksidentalisme dari Hasan Hanafi, pembacaan teks suci secara kritis oleh Mohammed Arkoun dan teologi pembebasan agama-nya Asghar Ali Egineer.
Epistemologi sebagai bentuk pengetahuan dari upaya intelektual untuk "menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepatnya", dengan mengetengahkan ciri-ciri umum dan hakiki pengetahuan manusia baik obyek dan metode pendekatannya. Maka apa yang disimpulkan dari buku Epistemologi kiri ini mencerminkan perkembangan dari gerakan dan pemikiran kiri kontemporer (postmoderen) yang mengkerucut pada persoalan dari lahir, susunan dan konsekuensi proyek modernitas dengan sistem totaliarianisme pada sistem ekonomi dan politik, haruslah dirubah secara fundamnetal dan revolusioner.
Namun, sayangnya buku ini karena memang seperti dikatakan oleh editornya Listiono Santoso merupakan kumpulan makalah filsafat di Progam Pasca Sarjana UGM, bukanlah gagasan yang sistematis tentang konteks lahirnya epistemologi kiri berikut perkembangan mutakhirnya, apalagi analisis jenis epistemologi yang mana cara kerjanya, apakah Nietzsche dan Feyerabend termasuk skeptisme mutlak atau relatif menjadi pertanyaan. Tapi semangat kiri yang ada dalam buku ini memang layak dijadikan referensi kita untuk mengaktualisaikan kehidupan dengan dasar kemanusiaan, kemajuan pembaharuan, dan proses yang tidak boleh berhenti. silahkan sahabat/i di bedah dg pisau kritis dan analilitis masing2...!
0 komentar:
Posting Komentar