Oleh :Phochetz Generasi Biru
Setelah merebut mushalla-mesjid dari tangan antek antek Wahabi, agenda
berikutnya PMII adalah merebut DUNIA WARUNG KOPI dari tangan para
preman, pemuda pancasila, fbr, fpi, dll.
Mengapa?Dalam hasil
penelitiannya, James Peacock dalam buku Purifying the Faith ttg
Muhammadiyah, diceritakan, suatu kali Peacock datang ke Makassar utk
neliti ttg Muhammadiyah.
Dan, anehnya
dia, membandingkan kantor NU dengan kantor NU di makassar awal 1970-an.
Pasti Anda tahulah perbedaan antara keduanya: ada yg rapi, modern, dan,
ada tahulah, ada pula yang berantakan...
Dan dari sini Peacock
tentu mengidealkan Muhammadiyah sebagai organisasi modern, dan tampak
lebih ngenyek NU dalam perbandingan ini. Tapi yang menarik perhatian
saya adalah respon seorang penjaga atau pengurus di kantor NU itu kepada
Peacock. “Ayo kita ngomong NU di warung kopi”....
Apa artinya ini?
NU tidak cukup hanya dengan adanya stempel NU atau kartu NU di kalangan
penduduk; atau adanya simbol-simbol organisasi NU di berbagai tempat.
Tapi NU lebih dari itu: jamaah. Dan dimana ditemukan NU jamaah itu? Ya
di warung kopi! Di ruang publik bebas itu, semua partisipan akan menjadi
bagian dari wacana keNUan – tanpa mesti ada stempel di jidat atau di
tangan. Dan yang menjadi penggerak wacana itu adalah pengurus NU yang
dikatakan kantornya acak-acakan itu. Inilah interaksi dan dinamika
discourse NU di ruang-ruang publik dimana pengurus pengurus NU memang
tampil mewarnai: .... dimana saja...!
Nah PMII harus seperti itu:
menguasai discourse warung kopi. Bukan hanya berkutat di jam’iyyah tapi
juga jamaahnya .... terutama jamaah discourse atau live-world-nya orang
orang NU di warung kopi...
So, PMII jangan hanya ngurus soal organisasi tp lupa konstituen yg menghidupi dunia malam warung kopi....
Bagaimana PMII WARUNG KOPI, PMII ANGKRINGAN, PMII MOCI, PMII CANGKRUAN,
PMII GARDU dan PMII POS KAMLING, dst dari sekian PMII PMII free public
spheres ini....... ini yang hilang... seperti kini kondisinya.
Pengurus pengurus PMII banyak diwarnai anak anak sekolahan dan para
sarjana, anak anak mall n cafe, mereka lupa dunia free public spheres
itu yg kemudian direbut kalangan preman, pelaku dunia remang remang,
oleh Pemuda Pancasila, FPI atau FBR..... (AHMAD BASO).
Dan dari sini Peacock tentu mengidealkan Muhammadiyah sebagai organisasi modern, dan tampak lebih ngenyek NU dalam perbandingan ini. Tapi yang menarik perhatian saya adalah respon seorang penjaga atau pengurus di kantor NU itu kepada Peacock. “Ayo kita ngomong NU di warung kopi”....
Apa artinya ini? NU tidak cukup hanya dengan adanya stempel NU atau kartu NU di kalangan penduduk; atau adanya simbol-simbol organisasi NU di berbagai tempat. Tapi NU lebih dari itu: jamaah. Dan dimana ditemukan NU jamaah itu? Ya di warung kopi! Di ruang publik bebas itu, semua partisipan akan menjadi bagian dari wacana keNUan – tanpa mesti ada stempel di jidat atau di tangan. Dan yang menjadi penggerak wacana itu adalah pengurus NU yang dikatakan kantornya acak-acakan itu. Inilah interaksi dan dinamika discourse NU di ruang-ruang publik dimana pengurus pengurus NU memang tampil mewarnai: .... dimana saja...!
Nah PMII harus seperti itu: menguasai discourse warung kopi. Bukan hanya berkutat di jam’iyyah tapi juga jamaahnya .... terutama jamaah discourse atau live-world-nya orang orang NU di warung kopi...
So, PMII jangan hanya ngurus soal organisasi tp lupa konstituen yg menghidupi dunia malam warung kopi....
Bagaimana PMII WARUNG KOPI, PMII ANGKRINGAN, PMII MOCI, PMII CANGKRUAN, PMII GARDU dan PMII POS KAMLING, dst dari sekian PMII PMII free public spheres ini....... ini yang hilang... seperti kini kondisinya.
Pengurus pengurus PMII banyak diwarnai anak anak sekolahan dan para sarjana, anak anak mall n cafe, mereka lupa dunia free public spheres itu yg kemudian direbut kalangan preman, pelaku dunia remang remang, oleh Pemuda Pancasila, FPI atau FBR..... (AHMAD BASO).
0 komentar:
Posting Komentar