PENDIDIKAN : MEMBANGUN KESADARAN BERPIKIR ILMIAH

  Oleh : Artha Purdiansyah

“Bukan sekedar nilai...!. Pendidikan sejatinya merupakan ruang pencarian dan pembentukan karakter serta mental untuk disinergikan dengan khasanah keilmuan yang tidak tersekat ruang dan waktu, kombinasi keduanyalah yang kelak akan menjadikan ilmu tersebut membumi”Sungguh ironi memang, negeri kaya bak surga dengan bentang alam yang indah dan kekayaan sumber daya alam serta manusianya yang melimpah dinegeri ini belum bisa memberikan kesejahteraan dan pemerataan kehidupan yang layak bagi masyarakatnya. Bahkan hingga lebih dari setengah abad pun, tepatnya diusia kemerdekaan Indonesia yang telah diraih 68 tahun silam, hal tersebut belum memberikan jawaban berarti atas problemantika kondisi kebangsaan kita.

Jawaban atas pertanyaan tersebut harus selalu terus kita cari akar permasalahan dan jalan keluarnya, hipotesis ataupun jawaban atas pemikiran tersebut setidaknya bisa sedikit memberikan sumbangsih dalam diskursus yang tak akan pernah henti pada ruang-ruang dialektika empiris maupun ilmiah. Pilihan peran itulah yang sekiranya dapat kita ambil sebagai bagian dari bangsa yang besar ini.

Dinamika dan problemantika bangsa yang sungguh kompleks dan seakan berada pada pusaran labirin tak berujung ini membuat kegelisahan dan sikap apatisme yang berlebih dari masyarakat. Masyarakat cenderung acuh dan bosan dengan permasalahan bangsa yang tak kunjung henti dipertontonkan secara fulgar dan sadar oleh para elit pemimpin kita. Urusan politik transaksional, ekonomi dengan kesenjangannya serta belum lagi urusan moralitas bangsa kita yang kian terdegradasi seakan tak pernah ada ujung pangkal penyelesaiannya, bak sinetron yang memiliki babak episode.

Jalan keluar dari permasalahan bangsa ini harus segera ditemukan dan dipecahkan. Berlarutnya kondisi ini lambat laun nantinya akan menggerogoti dan mengancam disintegrasi negara kita. Mengingat kutipan filosofis sederhana yang disampaikan M. Ali Masykur Musa bahwa, proses dinamika demokratisasi yang sedang berlangsung sejak zaman reformasi beberapa tahun silam memberikan pelajaran yang berharga bagi bangsa ini. Ibarat kita mengebor sumur, proses mempersiapkan, mencari dan menggali tanah untuk menemukan sumber mata air memerlukan ketekunan, kesabaran dan kerjakeras yang tak kenal lelah.

Berangkat dari hal tersebut diatas, jikalau memang proses dinamika demokrasi yang sedang berlangsung saat ini merupakan bagian awal untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan dan kesejahteraan, maka seluruh elemen bangsa ini harus mau bahu membahu mendukung dan bekerja keras demi kepentingan bersama agar sumber mata air yang jernih tersebut dapat segera didapat dan nikmati masyarakat. Hal ini tentunya harus diawali oleh kemauan dari para pemimpin kita sebagai pemangku mandat amanah rakyat, sebab pemerintah negara harus dijalankan atas kehendak dan untuk kepentingan rakyat .

BERAWAL DAN BERANGKAT DARI PARADIGMA PENDIDIKAN

Pendidikan dinegeri ini telah mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah, namun bukan berarti pada masa lampau pendidikan menjadi wilayah minoritas perhatian pemerintah dalam mengelola negara ini. Akan tetapi pemerintah telah menunjukkan komitmennya terhadap pendidikan dengan menjalankan amanah konstitusi melalui kebijakan alokasi 20% anggaran pendidikan dari total anggaran belanja pemerintah.

Hal tersebut menjadi angin segar bagi masyarakat dan berbagai lembaga dan institutsi pendidikan pada tiap jenjangnya, sebab dalam perkembangannya institusi pendidikan selalu kesulitan anggaran untuk pengembangan pendidikan dalam proses pengajaran, pengembangan potensi dan penelitiannya. Sehingga membuat lembaga pendidikan dari tahun ke tahun hanya berjalan ditempat bahkan terbengkalai dalam hal pemenuhan sarana dan prasarana pendukung bagi proses belajar mengajar.

Berbicara mengenai pendidikan, Ivan Illich (1970) seorang filosof dan kritikus sosial berpendapat bahwa sekolah tidak bisa secara otomatis disamakan dengan pendidikan . Sistem pendidikan saat ini yang ada tidak terlepas dari mekanisme dan sistem pendidikan yang berorientasi pada ukuran standart nilai belaka (UAN,IPK, dsb). Kritik Ivan Illich melalui ulasan tajamnya yang membedah institusi sekolah dan asumsi-asumsi yang membangun sistem sekolah yang menurut pandangannya mekanistik dan memperkurus kemanusiaan dengan membatasi ruang-ruang kebebasan berpikir dan proses internalisasi nilai serta ilmu-ilmu yang didapatkan.

Pemahaman dalam konteks pendidikan menjadi sesuatu yang penting untuk dipahami bersama. Pendidikan dewasa ini lebih mengedepankan sistem mekanisme proses belajar mengajar dalam bentuk kurikulum yang selalu berubah-ubah dan tak jelas operasional pelaksanaannya (perbedaan kultur budaya, letak geografis, dan kemampuan pemenuhan infrastruktur pendidikan membuat wilayah implementasinya tidak berjalan maksimal). Salah satu kritik utama Ivan Illich terhadap institusi sekolah adalah ketidakmampuannya membebaskan masyarakat, bahkan sekolah cenderung menciptakan ketergantungan masyarakat miskin pada lembaga yang memiliki otoritas dalam pendidikan.

Monopoli institusi sekolah sebagai sumber belajar telah membuat anggota masyarakat lain, seperti orangtua, dunia bisnis dan lembaga-lembaga lain kehilangan gairah untuk mendidik anak. Padalah yang menjadi core dalam pendidikan adalah bagaimana substansi dari proses pembelajaran dapat tersampaikan pada peserta didik. Banyak masalah inheren dalam sistem sekolah yang terkesampingkan dalam setiap pembahasan mengenai pendidikan yakni, bagaimana institusi sekolah tidak mampu membedakan antara substansi dan proses belajar, menyamakan antara kemampuan dengan ijazah, belajar dan menerima pelajaran, pendidikan dan kenaikan kelas dan lain sebagainya.

Melalui proses pendidikan seperti itulah sejatinya generasi-generasi penerus yang progresif dan inovatif dapat dicetak dan dilahirkan melalui institusi sekolah. Sebab bagaimana pun juga melalui lembaga pendidikanlah arah dan keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara dapat dibentuk dan direkayasa. Karena melalui saluran tersebutlah nantinya muncul tunas-tunas penerus estafet perjuangan pembangunan bangsa ini.

Pendapat lain juga muncul dari para pemikir terhadap pemahaman paradigma pendidikan. Paulo Freire memaparkan bahwa bertolak dari pandangan filsafat tentang manusia dan dunia, freire merumuskan gagasan tentang hakekat pendidikan dalam dimensi yang sama sekali baru dan pembaharu yang kemudian menjadikan pembebasan sebagai hakekat tujuan utama dari paradigma pendidikan. Proses pendidikan baik formal maupun informal pada dasarya berperan sebagai legitimasi bahkan melanggengkan sistem dan struktur sosial yang ada. Peran dari pendidikan tersebut tergantung pada paradigma yang membentuknya. Berangkat dari hal tersebut manusia sejatiya harus menjadi pelaku atau subyek yang sadar dalam bertindak mengatasi dunia secara realitas.

Paradigma dan konsepsi empiris tentang pendidikan yang hadir dalam khasanan diskursus Ivan Illich dan Paulo Freire dapatnya menjadikan sebuah pemahaman secara dialektis terhadap sebuat realita yang terbangun atas dominasi sistem yang ada. Bahwa suatu kenyataan tidak masti menjadi suatu keharusan. Jika terdapat sesuatu yang melenceng dari apa yang seharusnya maka tugas kitalah untuk bertindak merubah dan membenarkannya.

Melalui pendidikan yang membebaskan kita dapat lebih dalam menyelami samudera wawasan keilmuan dan dapat melihat lebih dekat serta memilih konteks realitas yang ada disekitar kita, tentunya dengan bangunan sistem pendidikan yang lebih humanis dan mengedepankan kejujuran dalam ranah keilmuannya.

MENCIPTAKAN IKLIM AKADEMIS DILINGKUNGAN PENDIDIKAN

Berangkat dari pemahaman terhadap konteks substantif dari proses pendidikan khususnya di Indonesia yang memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing, bahwa pada pembahasan kali ini kita akan melangkah pada suatu kajian empiris dan faktual terlebih dahulu mengenai model pembelajaran di perguruan tinggi (sistem, metode, outcome) yang ada di Indonesia yang kemudian dikomparasikan secara evaluatif sebagai bagian dari proses diskursus yang membangun.

Diberbagai belahan dunia manapun terdapat berbagai macam model dan metode pembelajaran yang terdapat di lembaga pendidikan pada level perguruan tinggi. Berangkat dari hal tersebut mari kita tengok sejenak bagaimana model pendidikan yang ada pada dibelahan negara di Eropa (Jerman). Pada beberapa tahun silang terjadi perdebatan dan kegamangan pada dunia pendidikan dinegara-negara Eropa antara sistem pendidikan Eropa daratan dan Anglo-saxon yang sama-sama diterapakan pada sistem pendidikan dinegara Eropa . Dimana terjadi perdebatan mengenai penghargaan gelar yang diberikan pada lulusan sarjananya. Hal ini terjadi disaat terdapat negara (Belanda) yang memberikan gelar MSc dan seterusnya padahal sebelumnya gelar drs merupakan gelar yang sakral dan setara master serta berhak untuk melanjutkan doktor. Atau di Jerman yang diberi gelar Dipl.Ing yang mana mahasiswa harus lulus dahulu Vordiplom dan berhak melanjutkan Haupdiplom. Hampir semua peraih master di Eropa daratan adalah by research atau kombinasi by course and research.

Di Indonesia sendiri penamaan gelar pada lulusan mahasiswa juga pernah mengalami perubahan dikala gelar S1 berubah menjadi SE, SH, ST, S.Sos, dsb yang dahulunya S1 atau biasa disebut sarjana muda menyandang gelar drs/dra. Terlepas dari perdebatan ataupun perubahan nama gelar yang digunakan sebagai penghargaan atas keberhasilan mahasiswa dalam menjalani masa studinya yang kemudian menarik untuk kita kaji adalah bagaimana proses mendapatkan dan outcome yang dihasilkan lembaga pendidikan melalui lulusan mahasiswanya.

Berbicara mengenai lembaga pendidikan dan lulusan yang nanti dihasilkan, seharusnya bukan menjadi tanggung jawab perguruan tinggi saja. Artinya dalam proses pendirian perguruan tinggi harus benar-benar memperhatikan beberapa aspek seperti tujuan, kebermanfaatan, secara filosofis serta pemenuhan dan jaminan mutu pendidikan tersebut. Sehingga lembaga pendidikan yang hadir benar-benar dapat memberikan proses pendidikan dengan dukungan sistem dan infrastruktur yang memadai.

Di Jerman untuk mendirikan perguruan tinggi atau lembaga pendidikan, harus melalui ijin dan persetujuan Menteri Negara Bagian, hal ini berkaitan dengan pendanaan dan kelayakannya. Lembaga pendidikan yang berdiri akan bekerja sama dengan Negara Bagian setempat dalam hal pemenuhan akses kebutuhan mahasiswanya, seperti kantin, apartemen, angkutan (Bus, KA), diskon buku murah atau barang elektronik, dan akses untuk menikmati hiburan konser musik klasik serta perpustakaan kota yang terintegrasi dengan perpustakaan universitas .

Kondisi seperti tersebut mungkin menjadi impian yang ideal akan kondisi yang semestinya tersedia dalam lingkungan pendidikan. Sehingga pemenuhan akses dan infrastruktur tersebut dapat mendukung proses pendidikan di universitas. Dengan terpenuhinya akses serta fasilitas lain yang menunjang proses pendidikan maka iklim akademis akan mudah kita jumpai diruang-ruang ataupun sudut-sudut universitas, mulai aktifitas maupun obrolan yang sedang dibicarakan. Melalui penciptaan iklim tersebut nantinya pasti akan jarang kita jumpai plagiatisme dan sebangsanya, karena melalui bentukan iklim tersebut mahasiswa akan memiliki ruang dan waktu yang luas untuk mengembangkan khasanan wawasan berpikirnya secara bebas serta menumbuhankan rasa keingintahuan yang tinggi.

Model pendidikan kita membuat ruang kritis dan kreatifitas dalam berfikir menjadi terbatasi. Model pendidikan dalam kelas yang terkesan kaku menjadikan peserta didik hanya menjadi pendengar tanpa dapat memahami, menangkap dan mengolah informasi maupun ilmu yang didapatkannya. Ironisnya kondisi ini diperparah lagi dengan bangunan ketidaksadaran yang terbangun secara mayoritas atas pemahaman dari arti pendidikan (sekolah atau kuliah) yang diartikan sempit hanya sebagai bagian dari mendapat legalitas ijazah untuk dapat masuk keruang-ruang yang telah tersistemkan.

Pola pendidikan tersebut pada akhirnya hanya akan mampu merubah penafsiran seseorang terhadap situasi yang dihadapainya, tanpa mampu merubah relitas yang terjadi pada dirinya. Manusia pada akhirnya hanya bisa menjadi penonton dan peniru bukan pencipta. Sehingga pendidikan sejatinya harus bertujuan untuk menggarap realitas manusia, dan karenanya secara metodologis bertumpu pada prinsip-prinsip aksi dan refleksi kontemplasi yakni prinsip bertindak untuk merubah kenyataan yang ada.

Dalam bangunan kesadaran tersebut, dibutuhkan kesadaran dan kemauan bersama atas perubahan pemahaman atas paradigma pendidikan dan pola pikir serta tingkah laku kita terhadap ruang-ruang kosong pada bejana waktu yang terus berputar ini dengan aksi riil dan nyata melalui penciptaan iklim-iklim ilmiah (budaya membaca, menulis dan berdiskusi) untuk membangun kesadaran kritis dan kepekaan kita terhadap kondisi lingkungan sekitar.

Jember, 17 Oktober 2012. 21.26 WIB

0 komentar:

Posting Komentar