Bangunan Kritis Kader Dan Wacana – Wacana Sosial

Oleh :Phochetz Generasi Biru

“Tempat bagi pergerakan mahasiswa Islam Indonesia (PMII) adalah pencarian batas-batas kepantasan hidup sebagai sebuah bangsa”.
( ALM. KH Abdurrahman Wahid (GUS DUR) )
Dalam organisasi manapun yang menjadi cerninan keberhasilan dari organisasi  adalah anggota (kader) dari organisasi tersebut. Tak terkecuali dengan PMII, yang akan menjadi penilaian organ atau orang luar dalam menilai keberhasilan pengkaderan dari PMII adalah dengan cara melihat kader – kadernya. Tak bisa dipungkiri lagi setiap kader yang beredar atau beraktifitas dalam ranah manapun akan selalu menjadi gambaran dari organisasi yang bersangkutan. Karena orang luar akan menilai segala bentuk sikap, perilaku, dan pemikiran dari kader tersebut adalah hasil dari internalisasi dan proses – proses yang telah dilewati sang kader.
Maka dari itu akan menjadi sesuatu yang utama dan sangat penting adanya sebuah pengkaderan yang baik dan terstruktur dengan jelas. Pengkaderan merupakan elan vital organisasi (dimanapun) dan senantiasa mendapatkan concern yang lebih dibandingkan lainnya, terlebih bagi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia ( PMII )  yang telah mendeklarasikan diri sebagai organisasi kader. Jika saja pengkaderan dijadikan pijakan (parameter) keberhasilan kepemimpinan dalam struktur organisasi maka ‘kemandegan’ kekritisan berpikir dalam diri kader – kader PMII  merupakan fakta kongkrit bahwa pengkaderan kita mengalami ‘masalah’. Karenanya pengkaderan merupakan ‘darah segar’ bagi kelangsungan hidup sebuah organisasi atau institusi, yang akan memastikan bagaimana keadaan organisasi di masa depan.

Melihat realitas yang terjadi akhir – akhir ini maka kita tidak usah kaget ketika bertemu dengan kader - kader yang an sich pragmatis dan sama sekali tidak memiliki nalar berpikir kritis. Artinya, disini kader PMII telah dihadapkan pada dua hal yang sangat bertentangan dan menuntut kader untuk memilih dalam keterbatasannya sebagai seorang kader. Di satu sisi PMII menawarkan sejuta ilmu dan menjadi gudang wacana bagi siapapun yang mau berproses dengan resiko membuang segala waktu senggang sang kader hanya untuk bergumul dengan buku – buku penjebol wacana dan diskusi – diskusi yang menyita banyak waktu. Di lain sisi kader dipertemukan dengan hamparan mode modern  lengkap dengan segala aktifitas – aktifitasnya yang rata – rata akan dihabiskan dijalan – jalan dan ruang – ruang karaoke.

Disinilah seharusnya PMII sebagai organisasi pengkaderan mampu menempatkan dirinya pada posisi yang tepat. Sehingga kader – kader PMII tidak terjebak pada wilayah pragmatis. PMII seharusnya mampu  menjadikan semua kader – kadernya berada pada garis depan perubahan dengan senjata tombak dan perisai sebagai pelindungnya. Kader PMII butuh kepekaan sosial dan nalar berpikir kritis yang akan dijadikan tombak dalam membuat perubahan dan ketenangan serta ketajaman beranalisis sebagai perisai dalam melindungi dirinya dari gempuran – gempuran ke-MODE (rn) an. Jelas kebutuhan pertama yang akan dibutuhkan kader ketika akan diperkenalkan dengan dunia berpikir kritis adalah asupan wacana – wacana sosial yang cukup. Perkenalan kader – kader PMII dengan dunia filsafat (baik kontemporer maupun klasik) dan teori – teori sosial (mulai dari kapitalisme, sosialisme dll) akan dengan sendirinya membentuk nalar kritis kader serta ketajaman analisis yang tak terbantahkan. Sudah saatnya setiap kader PMII diperkenalkan dengan wacana – wacana filsafat dan teori – teori sosial sebagai landasan berpikir kritis tanpa menafikan disiplin ilmu yang ditempuhnya. Serta internalisasi nilai – nilai PMII sebagai koridor berpikir kader PMII, sehingga kader PMII tidak terjebak dalam keberpihakan terhadap salah satu teori sosial yang ada, sesuai dengan konsepsi Aswaja yang mengharuskan kadernya untuk selalu berada ditengah baik dalam pemikiran maupun tindakan.

Keberadaan buku penjebol wacana juga akan mempermudah tugas PMII dalam menghasilkan kader kritis. Adanya buku – buku filsafat dan teori – teori sosial di setiap sekretariat PMII (baca : Rayon/Komisariat) akan sangat mempermudah kader untuk berkenalan dengan ilmu – ilmu tersebut. Sehingga kader secara tidak langsung dalam setiap komunikasinya akan bertemu dengan wacana – wacana sosial yang akan membentuk nalar berpikir kritis kader. Serta peran serta pengurus PMII baik itu di tingkatan Rayon, Komisariat, maupun cabang hendaknya mampu menjadi tongkat estafet ilmu – ilmu sosial tadi bagi kadernya. Setidaknya dalam ranah praksis sebagai bentuk aksi dan aplikasi dari teori – teori yang telah menjadi konsumsi kesehariannya. Sehingga hal ini juga akan dijadikan contoh bagi kader – kader PMII dalam mentranformasikan ilmu – ilmunya dimasa yang akan datang. Dengan demikian paradigma kritis yang Transformatif yang selalu didengung-dengungkan dalam setiap jenjang pengkaderan PMII tidak hanya  menjadi teori belaka.

Dengan terbentuknya kader – kader PMII yang memiliki kepekaan sosial, kekritisan dan ketajaman analisis sosial maka PMII dengan sendirinya akan menjadi salah satu organ gerakan yang disegani dan menjadi warna dalam setiap perubahan sosial yang ada. Hal itu tidak lepas dari tindak – tanduk kadernya dalam setiap entitas yang ditempatinya, diluar identitasnya sebagai kader PMII. Sehingga pandangan GUS DUR terhadap PMII dalam pidatonya pada kongres kepengurusan Sahabat Muhaimin Iskandar yang menganggap PMII sebagai wadah bagi kader – kadernya untuk ,menjadikan kadernya sebagai control terhadap batas – batas kepantasan hidup sebagai sebuah bangsa (Indonesia) menjadi benar adanya.

 Tetap Tangan Terkepal dan Maju ke Muka…Salam Pergerakan!!!! 

0 komentar:

Posting Komentar