Tradisi Partai Politik , Penciptaan Kejenuhan Sosial
Oleh : Ali Mashudi
Pada prinsipnya manusia selalu berkeinginan untuk menata keadaaan hidupnya kearah yang lebih baik, membangun strategi demi mencipta suatu tatanan yang lebih baik, berupaya menghindari terciptanya suasana yang mencipta instabilitas sementara pada sisi lain berusaha mengkristalisasi harapan kelompoknya. Fenomena terebut memunculkan pandangan bahwa perlu ada suatu sistem untuk mengkristalisasi upaya terebut demi pewujudan harapan dalam suatu komunitas ( social interaction ). Sejarah demokrasi menunjukkan, partai politik adalah lembaga resmi sebagai pencipta kebijakan dalam bingkai kebijaksanaan. Tradisi partai politik sebagai kebiasaan - kebiasaan dalam melembagakan kepentingan masyarakat menjadi bagian yang sangat penting untuk dipahami. Partai Politik dewasa ini begitu banyak ( politics liberal ), selanjutnya dengan ragam tersebut partai politik tersebut apakah tradisi partai politik searah dengan keharusan tradisi partai politik ataukah ikhtiari tradsi partai politik malah mewujudkan kejenuhan sosial dalam alam kehidupan masyarakat. Apakah kejenuhan itu benar terjadi atau tidak.
Titik kejenuhan sosial ada dua pertama keadaan dimana gejala sosial yang muncul bisa ditangkap dengan bekal inderawi semata, gejolak gejolak yang mengancam stabilitas nampak nyata didepan mata atau terjadi secara aktif dan masif, keduatitik kejenuhan dimana gejala sosial yang muncul berupa keadaan pasif suatu individu atau komunitas dalam perubahan sosial. Pada point manakah masyarakat berada. Hal ini perlu diulas dengan mengungkap kenyataan yang terjadi versus keharusan yang mesti terjadi.
Di Negara demokrasi, tradisi partai politik sebagai adat menjadi suatu hal yang perlu ditelaah lebih jauh, dikarenakan ia ( tradisi partai politik ) adalah bagian upaya penyatuan heterogenitas (unity of diversity) demi pencapaiaan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat. Bagaimanapun juga, bahwa antara kenyataan sosial berupa kesejahteraan dengan ragam harapan masyarakat untuk menjadi lebih baik telah menjadi jarak yang saling menjauh, Melebarnya jarak tersebut adalah kenyataan tersendiri yang menciptakan ruang kekacauaan sosial yang diam ( silent instabilitation ),. Dalam pandangan Samuel P. Huntington seorang pemerhati demokrasi modern mengatakan “semakin maju suatu bangsa atau negara maka didalamnya ada tradisi partai politik yang mapan’’( Tertib politik , Samuel P Huntington ), jika teori tersebut dijadikan tolak ukur maka partai politik dengan kenyataan yang mewujud pada masa ini seharusnya mengkritisi taradisi politik yang dibangunnya.
Pada sejarah partai politik di-indonesia, matlumat pemerintah No X 1945 dengan bunyi pertama pemerintah menyukai timbunya partai partai politik karena dengan adanya partai itulah dapat dipimpin kejalan yang benar segala aliran paham yang ada dalam masyarakat ( Politik Hukum, mahfud Md ), sejak saat itulah mulai pada bulan januari 1946 lahirlah partai partai politik seperti masyumi, PKI, Partai buruh indonesia dll. Diera Soeharto dengan budaya develompmentisisme hanya ada 3 partai saja. Sejak era reformasi, partai politik menjadi liar sebagai bagian utama demokrasi, jumlah partai begitu banyak sementara arah politik / kebijakan untuk rakyat semakin kabur. Dalam kenyataannya saat ini Jumlah partai sangat banyak, ini mengindentifikasikan bahwa betapapun semangat pembaharuan menjadi semangat reformasi namun perubahan yang diharapkan memiliki beragam bentuk. Muncullah kelompok kelompok baru yang membentuk partai namun disisi lain kekacauaan sosial juga semakin meningkat. Tradisi partai politik dewasa ini menunjukkan liberalisasi kepentingan rakyat juga kepemimpinan yang tidak memiliki nuansa karakter yang kharismatik.
Liberasasi partai politik serta liberlisasi kepentingan rakyat.
Kemungkinan - kemungkinan akan perubahan menjadi sesuatu yang mudah diumbar dalam melakukan mobilisasi massa demi tujuan pengikatan ingatan pemikiran masyarakat, dengan demikian yang terjadi adalah mobilisasi yang tidak sehat. Liberalisasi partai politik telah mengahasilkan ragam penafsiran terhadap kepentingan rakyat, biasanya kenyataaan dilapangan tidaklah serumit yang dipahami oleh partai begitupun sebaliknya, liberalisasi partai politik malah membagi kepentingan kepentingan masyarakat menjadi sangat plural, dimana liberasiasi pembacaan kepentingan itu dijadikan komoditas bahan dagangan oleh partai politik, kepentingan rakyat pun dijadikan komoditas yang diekploitasi demi kuasa pemenangan dikarenkan partai bersaing dalam memoles bahasa tentang apa yang diinginkan oleh masyarakat, Demi dan atas nama rakyat, itulah yang terjadi disatu sisi partai politik menjual kata rakyat, teori Aristotelian etic menganggap politik sebagai pengabdian sementara Machvellian etic menganggap bahwa politik adalah saling menguasai, fenomena menunjukkan sisi yang nyata bahwa rakyat mulai apatis dikarenakan politik yang digandrungi adalah politik saling menguasai, Culture atau tradisi politik yang tidak memiliki pandangan seta arah yang jelas tentang pengabdian membuat masyarakat menjadi apatis, sebuah kenyataan yang saling melengkapi dan menyempurnakan keadaan yang begitu memprihatinkan berupa semakin melebarnya kekuasaan hak antara penguasa dengan kewajibannya terhadap rakyat serta kesejahteraan antara si-miskin dan si-kaya. Hak menjadi kekuatan yang benar benar dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok elite disatu sisi kewajiban pada rakyat diabaikan.
Pada tatanan masyarakat yang sedang berubah, yang mengantarkan budaya apatis atau penciptaan titik kejenuhan adalah masyarakat memahami bahwa ia tidak menjumpai perbedaan ikhtiari personal dengan hadirnya sistem sebagai sarana pendukung rakyat, atau bisa dikatakan jika tampa negara begitulah keadaan rakyat atau tanpa negara apa yang dialami masyarakat akan tetap sama. Ikhtiar personal dianggap sebagai bagian mandiri upaya masyarakat dimana negara tidak memiliki kontribusi terhadap perubahan keadaannya. Jadi bisa disimpulkan bahwa fungsi demokrasi berupa pemberdayaan oleh pemerintah sangat minim sementara yang berjalan hanyalah fungsi fungsi adminstartif. Maka implikasinya, masyarakat terpinggirkan dalam pemenuhan kepentingannya hampir selalu beroposisi dengan kehendak pemerintah karena masyarakat berada posisi kehendak berdasarkan kenyataan yang mereka alami dan mengharapkan keharusan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap dirinya/ kelompoknya, sementara pemerintah hanya berkutat pada fungsi administrasi dimana pada fungsi - fungsi adminstarsi atau formal tersebut masyarakat selalu terpinggirkan karena pemerintah berkawan pada kelompok elite elite politik semata, dimana elite elite politik yang diharapkan memperjuangkan kepentingan rakyat telah memisahkan diri dari masyarakat dalam fungsinya.
Dengan kenyataan sebagaimana yang dimaksud dengan kesan rakyat pada iktiari personal yang mandiri itu, Peluang munculnya kekacauaan sosial akan semakin mengkhawatirkan meskipun dalam kehidupan sehari hari terkesan masyarakat acuh atau apatis. Munculnya kekacaauan sosial atau instabilitas yang tiba tiba atau sangat susah diprediksi kapan terjadinya disebabkan karena suatu saat nanti masyarakat akan sampai pada kesadaran titik jenuh dimana telah menganggap kekusaan negara dan fungsi partai politik sebagai hal yang tak bermanfaat. Jikapun liberalisasi partai politik menggejala maka seandainya ada pemimpin yang muncul dengan sosok yang khrismatik , cerdas, dan arif akan sangat mengurangi keadaan yang penuh dengan kelengahan penguasa pada rakyat, atau dalam pandangan soekarno, dalam era dimana banyak partai maka harus ada “ sesepuh” ia mengatakan bahwa negara indonesia dengan bergam partai harus dipimpin oleh seorang sesepuh, lantas apakah tradisi kepemimpinan dalam partai politik melahirkan seorang sesepuh.
Kepemimpinan Dalam Tradisi Partai Politik.
Kepemimpinan merupakan bagian terpenting dalam kehidupan sosial karena seorang pemimpin diharapakan mampu mengorganisir kepentingan masyarakat agar bisa mewujud dalam suatu kebijakan yang ideal. Namun perlu dilihat secara seksama bahwa dalam sistem pemilihan umum kita, seorang pemimpin itu adalah suguhan partai politik. Partai politik memiliki andil utama dalam menyiapkan siapa yang layak menjadi seorang pemimpin. Kenyataan inilah yang kita lihat saat ini, lantas apakah memang pemimpin dari partai ini benar - benar sesuai dengan kehendak rakyat. Fenomena tradsi partai politik menunjukkan tradisi pencitraan yang tidak alamiah, proses partai politik mendesain realitas eksternal untuk menciptakan kualitas personal pemimpin yang diajukannya, model kepemimpinan yang demikian itulah yang menimbulkan malapetaka sosial. Teori sifat kepemimpinan menyatakan bahwa kepemimpinan bukanlah atribut yang dilekatkan oleh suatu kelompok atau manusia yang lain pada diri seseorang, tetapi sesungguhnya atribut - atribut kepemimpinan itu telah melekat pada diri pribadi seseorang itu, atribut kepemimpinan itulah yang menjelaskan kualitas - kualitas peribadinya atau dengan kata lain transformasi kualitas personality internalnya lah yang memengaruhi realitas eksternalnya, bukan sesuatu yang dinisbatkan oleh orang lain untuknya ( Pencitraan ).
Titik kejenuhan sosial, bius demokrasi
Pada kenyataannya titik kejenuhan masyarakat telah kita jumpai, namun lebih kepada poin kedua pada awal bahasan, titik kejenuhan dimana gejala sosial yang muncul berupa keadaan pasif suatu individu atau komunitas dalam perubahan sosial. Hal ini disebakan oleh kenyataan tradisi politik yang sakit, Partai yang hendak menyegerakan pembedahan penyakit masyarakat serta pembenahan ekonomi malah membiarkan keadaan tradisi partai dalam keadaan sakit sehingga tradisi tersebut malah mempercepat tumbuhnya penyakit masyarakat serta menambah kemisikinan, pada kenyataannya desain kepemimpinan partai menjadi suatu hal yang perlu menjawab beragam kekurangan partai politik namun malah semakin fatal bahwa kenyataan desain kepemimpinan dalam partai politik belumlah menunjukkan pengkristalan keharusan kepemimpinan dalam tradisi partai politik.
Kondisi kekinian menunjukan antara nagara sebagai jelmaan upaya pewujudan kesejahteraan dengan kehidupan rakyat sebagai sebagai tujuan saling beroposisi paling tidak bahwa ada kenyataan kejenuhan dalam ruang tunggu penciptaan impian itu. Kejenuhan yang lahir karena mobilitas rakyat yang dihentikan oleh upaya sebagian kalangan bahwa dimana rakyat adalah obyek yang terpikirkan sehingga mereka masyarakat menjadi kelompok yang dipasung. Dugaan ini menjadi kenyataan dikarenakan harapan rakyat adalah komoditas yang selalu diperhatikan serta dilestarikan demi upaya pencapaiian tujuan tujuan yang oportunis oleh partai politik dengan demikan maka rakyat dibelenggu dalam keadaan tidak sadar karena bius demokrasi yang mengatasnamakan rakyat.
Bius demokrasi yang dimaksud berupa penggilaan diri terhadap arti demokrasi yang tidak rasional, dimana sistem demokrasi begitu diagungkan sementra tujuan demokrasi hanya dalam ilusi dikarenakan perjalanan demokrasi (culture of democracy) yang dijalankan oleh partai politik tidak berjalan dalam wilayah kesadaran untuk rakyat atau mungin dikatakan pelupaan yang terencana karena demokrasi hanya medan pertarungan dalam nalar saling menguasai inilah yang mungkin disebut alirasn politik Hobes dimana politik adalah pertarungan untuk saling mengusai, pertarungan antara agama dan negara. Bius demokrasi melahirkan orang kuat yang menguasai bukan dari kualitas ilmu, serta karakter kepemimpinan yang sebenarnya.
ada prinsipnya manusia selalu berkeinginan untuk menata keadaaan hidupnya kearah yang lebih baik, membangun strategi demi mencipta suatu tatanan yang lebih baik, berupaya menghindari terciptanya suasana yang mencipta instabilitas sementara pada sisi lain berusaha mengkristalisasi harapan kelompoknya. Fenomena terebut memunculkan pandangan bahwa perlu ada suatu sistem untuk mengkristalisasi upaya terebut demi pewujudan harapan dalam suatu komunitas ( social interaction ). Sejarah demokrasi menunjukkan, partai politik adalah lembaga resmi sebagai pencipta kebijakan dalam bingkai kebijaksanaan. Tradisi partai politik sebagai kebiasaan - kebiasaan dalam melembagakan kepentingan masyarakat menjadi bagian yang sangat penting untuk dipahami. Partai Politik dewasa ini begitu banyak ( politics liberal ), selanjutnya dengan ragam tersebut partai politik tersebut apakah tradisi partai politik searah dengan keharusan tradisi partai politik ataukah ikhtiari tradsi partai politik malah mewujudkan kejenuhan sosial dalam alam kehidupan masyarakat. Apakah kejenuhan itu benar terjadi atau tidak.
Titik kejenuhan sosial ada dua pertama keadaan dimana gejala sosial yang muncul bisa ditangkap dengan bekal inderawi semata, gejolak gejolak yang mengancam stabilitas nampak nyata didepan mata atau terjadi secara aktif dan masif, keduatitik kejenuhan dimana gejala sosial yang muncul berupa keadaan pasif suatu individu atau komunitas dalam perubahan sosial. Pada point manakah masyarakat berada. Hal ini perlu diulas dengan mengungkap kenyataan yang terjadi versus keharusan yang mesti terjadi.
Di Negara demokrasi, tradisi partai politik sebagai adat menjadi suatu hal yang perlu ditelaah lebih jauh, dikarenakan ia ( tradisi partai politik ) adalah bagian upaya penyatuan heterogenitas (unity of diversity) demi pencapaiaan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat. Bagaimanapun juga, bahwa antara kenyataan sosial berupa kesejahteraan dengan ragam harapan masyarakat untuk menjadi lebih baik telah menjadi jarak yang saling menjauh, Melebarnya jarak tersebut adalah kenyataan tersendiri yang menciptakan ruang kekacauaan sosial yang diam ( silent instabilitation ),. Dalam pandangan Samuel P. Huntington seorang pemerhati demokrasi modern mengatakan “semakin maju suatu bangsa atau negara maka didalamnya ada tradisi partai politik yang mapan’’( Tertib politik , Samuel P Huntington ), jika teori tersebut dijadikan tolak ukur maka partai politik dengan kenyataan yang mewujud pada masa ini seharusnya mengkritisi taradisi politik yang dibangunnya.
Pada sejarah partai politik di-indonesia, matlumat pemerintah No X 1945 dengan bunyi pertama pemerintah menyukai timbunya partai partai politik karena dengan adanya partai itulah dapat dipimpin kejalan yang benar segala aliran paham yang ada dalam masyarakat ( Politik Hukum, mahfud Md ), sejak saat itulah mulai pada bulan januari 1946 lahirlah partai partai politik seperti masyumi, PKI, Partai buruh indonesia dll. Diera Soeharto dengan budaya develompmentisisme hanya ada 3 partai saja. Sejak era reformasi, partai politik menjadi liar sebagai bagian utama demokrasi, jumlah partai begitu banyak sementara arah politik / kebijakan untuk rakyat semakin kabur. Dalam kenyataannya saat ini Jumlah partai sangat banyak, ini mengindentifikasikan bahwa betapapun semangat pembaharuan menjadi semangat reformasi namun perubahan yang diharapkan memiliki beragam bentuk. Muncullah kelompok kelompok baru yang membentuk partai namun disisi lain kekacauaan sosial juga semakin meningkat. Tradisi partai politik dewasa ini menunjukkan liberalisasi kepentingan rakyat juga kepemimpinan yang tidak memiliki nuansa karakter yang kharismatik.
Liberasasi partai politik serta liberlisasi kepentingan rakyat.
Kemungkinan - kemungkinan akan perubahan menjadi sesuatu yang mudah diumbar dalam melakukan mobilisasi massa demi tujuan pengikatan ingatan pemikiran masyarakat, dengan demikian yang terjadi adalah mobilisasi yang tidak sehat. Liberalisasi partai politik telah mengahasilkan ragam penafsiran terhadap kepentingan rakyat, biasanya kenyataaan dilapangan tidaklah serumit yang dipahami oleh partai begitupun sebaliknya, liberalisasi partai politik malah membagi kepentingan kepentingan masyarakat menjadi sangat plural, dimana liberasiasi pembacaan kepentingan itu dijadikan komoditas bahan dagangan oleh partai politik, kepentingan rakyat pun dijadikan komoditas yang diekploitasi demi kuasa pemenangan dikarenkan partai bersaing dalam memoles bahasa tentang apa yang diinginkan oleh masyarakat, Demi dan atas nama rakyat, itulah yang terjadi disatu sisi partai politik menjual kata rakyat, teori Aristotelian etic menganggap politik sebagai pengabdian sementara Machvellian etic menganggap bahwa politik adalah saling menguasai, fenomena menunjukkan sisi yang nyata bahwa rakyat mulai apatis dikarenakan politik yang digandrungi adalah politik saling menguasai, Culture atau tradisi politik yang tidak memiliki pandangan seta arah yang jelas tentang pengabdian membuat masyarakat menjadi apatis, sebuah kenyataan yang saling melengkapi dan menyempurnakan keadaan yang begitu memprihatinkan berupa semakin melebarnya kekuasaan hak antara penguasa dengan kewajibannya terhadap rakyat serta kesejahteraan antara si-miskin dan si-kaya. Hak menjadi kekuatan yang benar benar dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok elite disatu sisi kewajiban pada rakyat diabaikan.
Pada tatanan masyarakat yang sedang berubah, yang mengantarkan budaya apatis atau penciptaan titik kejenuhan adalah masyarakat memahami bahwa ia tidak menjumpai perbedaan ikhtiari personal dengan hadirnya sistem sebagai sarana pendukung rakyat, atau bisa dikatakan jika tampa negara begitulah keadaan rakyat atau tanpa negara apa yang dialami masyarakat akan tetap sama. Ikhtiar personal dianggap sebagai bagian mandiri upaya masyarakat dimana negara tidak memiliki kontribusi terhadap perubahan keadaannya. Jadi bisa disimpulkan bahwa fungsi demokrasi berupa pemberdayaan oleh pemerintah sangat minim sementara yang berjalan hanyalah fungsi fungsi adminstartif. Maka implikasinya, masyarakat terpinggirkan dalam pemenuhan kepentingannya hampir selalu beroposisi dengan kehendak pemerintah karena masyarakat berada posisi kehendak berdasarkan kenyataan yang mereka alami dan mengharapkan keharusan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap dirinya/ kelompoknya, sementara pemerintah hanya berkutat pada fungsi administrasi dimana pada fungsi - fungsi adminstarsi atau formal tersebut masyarakat selalu terpinggirkan karena pemerintah berkawan pada kelompok elite elite politik semata, dimana elite elite politik yang diharapkan memperjuangkan kepentingan rakyat telah memisahkan diri dari masyarakat dalam fungsinya.
Dengan kenyataan sebagaimana yang dimaksud dengan kesan rakyat pada iktiari personal yang mandiri itu, Peluang munculnya kekacauaan sosial akan semakin mengkhawatirkan meskipun dalam kehidupan sehari hari terkesan masyarakat acuh atau apatis. Munculnya kekacaauan sosial atau instabilitas yang tiba tiba atau sangat susah diprediksi kapan terjadinya disebabkan karena suatu saat nanti masyarakat akan sampai pada kesadaran titik jenuh dimana telah menganggap kekusaan negara dan fungsi partai politik sebagai hal yang tak bermanfaat. Jikapun liberalisasi partai politik menggejala maka seandainya ada pemimpin yang muncul dengan sosok yang khrismatik , cerdas, dan arif akan sangat mengurangi keadaan yang penuh dengan kelengahan penguasa pada rakyat, atau dalam pandangan soekarno, dalam era dimana banyak partai maka harus ada “ sesepuh” ia mengatakan bahwa negara indonesia dengan bergam partai harus dipimpin oleh seorang sesepuh, lantas apakah tradisi kepemimpinan dalam partai politik melahirkan seorang sesepuh.
Kepemimpinan Dalam Tradisi Partai Politik.
Kepemimpinan merupakan bagian terpenting dalam kehidupan sosial karena seorang pemimpin diharapakan mampu mengorganisir kepentingan masyarakat agar bisa mewujud dalam suatu kebijakan yang ideal. Namun perlu dilihat secara seksama bahwa dalam sistem pemilihan umum kita, seorang pemimpin itu adalah suguhan partai politik. Partai politik memiliki andil utama dalam menyiapkan siapa yang layak menjadi seorang pemimpin. Kenyataan inilah yang kita lihat saat ini, lantas apakah memang pemimpin dari partai ini benar - benar sesuai dengan kehendak rakyat. Fenomena tradsi partai politik menunjukkan tradisi pencitraan yang tidak alamiah, proses partai politik mendesain realitas eksternal untuk menciptakan kualitas personal pemimpin yang diajukannya, model kepemimpinan yang demikian itulah yang menimbulkan malapetaka sosial. Teori sifat kepemimpinan menyatakan bahwa kepemimpinan bukanlah atribut yang dilekatkan oleh suatu kelompok atau manusia yang lain pada diri seseorang, tetapi sesungguhnya atribut - atribut kepemimpinan itu telah melekat pada diri pribadi seseorang itu, atribut kepemimpinan itulah yang menjelaskan kualitas - kualitas peribadinya atau dengan kata lain transformasi kualitas personality internalnya lah yang memengaruhi realitas eksternalnya, bukan sesuatu yang dinisbatkan oleh orang lain untuknya ( Pencitraan ).
Titik kejenuhan sosial, bius demokrasi
Pada kenyataannya titik kejenuhan masyarakat telah kita jumpai, namun lebih kepada poin kedua pada awal bahasan, titik kejenuhan dimana gejala sosial yang muncul berupa keadaan pasif suatu individu atau komunitas dalam perubahan sosial. Hal ini disebakan oleh kenyataan tradisi politik yang sakit, Partai yang hendak menyegerakan pembedahan penyakit masyarakat serta pembenahan ekonomi malah membiarkan keadaan tradisi partai dalam keadaan sakit sehingga tradisi tersebut malah mempercepat tumbuhnya penyakit masyarakat serta menambah kemisikinan, pada kenyataannya desain kepemimpinan partai menjadi suatu hal yang perlu menjawab beragam kekurangan partai politik namun malah semakin fatal bahwa kenyataan desain kepemimpinan dalam partai politik belumlah menunjukkan pengkristalan keharusan kepemimpinan dalam tradisi partai politik.
Kondisi kekinian menunjukan antara nagara sebagai jelmaan upaya pewujudan kesejahteraan dengan kehidupan rakyat sebagai sebagai tujuan saling beroposisi paling tidak bahwa ada kenyataan kejenuhan dalam ruang tunggu penciptaan impian itu. Kejenuhan yang lahir karena mobilitas rakyat yang dihentikan oleh upaya sebagian kalangan bahwa dimana rakyat adalah obyek yang terpikirkan sehingga mereka masyarakat menjadi kelompok yang dipasung. Dugaan ini menjadi kenyataan dikarenakan harapan rakyat adalah komoditas yang selalu diperhatikan serta dilestarikan demi upaya pencapaiian tujuan tujuan yang oportunis oleh partai politik dengan demikan maka rakyat dibelenggu dalam keadaan tidak sadar karena bius demokrasi yang mengatasnamakan rakyat.
Bius demokrasi yang dimaksud berupa penggilaan diri terhadap arti demokrasi yang tidak rasional, dimana sistem demokrasi begitu diagungkan sementra tujuan demokrasi hanya dalam ilusi dikarenakan perjalanan demokrasi (culture of democracy) yang dijalankan oleh partai politik tidak berjalan dalam wilayah kesadaran untuk rakyat atau mungin dikatakan pelupaan yang terencana karena demokrasi hanya medan pertarungan dalam nalar saling menguasai inilah yang mungkin disebut alirasn politik Hobes dimana politik adalah pertarungan untuk saling mengusai, pertarungan antara agama dan negara. Bius demokrasi melahirkan orang kuat yang menguasai bukan dari kualitas ilmu, serta karakter kepemimpinan yang sebenarnya.
0 komentar:
Posting Komentar